🍀Part 16. Perhatian 🔥

547 83 33
                                    

Vote dulu sayang, sebelum gigi kalian kering😎

***

Keesokannya harinya, sinar mentari pagi mulai merayap melalui celah-celah tirai kamar, membangunkan Valeska dari tidurnya yang tidak terlalu nyenyak. Matahari tampak cerah, seolah ingin menutupi kesuraman malam sebelumnya. Namun, Valeska masih bisa merasakan sisa-sisa keheningan itu di dalam dirinya.

Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, melirik ke arah Gio yang masih tertidur di atas sofa, wajahnya tampak tenang dan damai. Telepon genggamnya tergeletak di meja samping tempat tidur, seolah menjadi saksi bisu dari kesibukan malamnya yang penuh dengan game online. Valeska tersenyum tipis, menyesap udara pagi yang sejuk sebelum memutuskan untuk membangunkan Gio dan segera turun ke dapur.

"Kak, bangun. Nanti sekolahnya telat," ujarnya lembut sambil menggoyangkan bahu Gio.

Gio mengerang pelan dan membuka matanya, masih setengah tertutup. "Val, gue mau teh anget," gumamnya dengan suara serak, matanya belum sepenuhnya terbuka.

Valeska hanya mengangguk sebelum turun ke dapur. Dia mulai menyiapkan teh hangat untuk Gio. Wangi daun teh yang baru diseduh mulai memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma roti panggang. Suara lembut dari kicauan burung di luar rumah menambah suasana yang seharusnya menenangkan. Namun, ada kekhawatiran kecil yang mulai muncul di benaknya, terpicu oleh suara serak Gio tadi pagi.

Saat dia tengah sibuk dengan rutinitas paginya, Gio akhirnya muncul di ambang pintu dapur. Matanya masih setengah tertutup, rambutnya berantakan. Dia tampak tidak bersemangat, berbeda dari biasanya.

"Val, perut gue sakit," ucap Gio tiba-tiba, suaranya terdengar lemah dan serak. Dia berjalan perlahan ke arah meja dan duduk dengan susah payah, mengambil secangkir teh yang sudah disiapkan Valeska.

Valeska menatapnya dengan cemas, "Kok bisa? Lo telat makan apa gimana?"

Tanpa menjawab, Gio menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan yang bertumpu di atas meja. Valeska mendekatinya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kak..." panggilnya pelan, takut mengganggu namun juga tidak bisa mengabaikan rasa takutnya melihat Gio dalam keadaan seperti ini.

Gio mendesah pelan, suaranya terdengar tertahan. "Maag gue kambuh, Val," ujarnya dengan suara lemah, napasnya terdengar terputus-putus.

Valeska merasakan gelombang kepanikan menghantamnya. Dia tidak tahu jika Gio mempunyai riwayat sakit maag, dia juga memiliki penyakit ini, tapi tidak pernah seburuk yang Gio rasakan. Wajah Gio pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan setiap kali dia berusaha menarik napas, tampak ada rasa sakit yang menusuk.

"Dari kapan?" tanya Valeska, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang ia rasakan.

"Gue ngga tau, pas bangun tidur udah sakit. sekarang nambah sakit." jawab Gio dengan suara yang tertahan.

"Kak, kasih tau gue, gue harus ngapain. Coba minum tehnya pelan-pelan," Valeska berusaha menenangkan suaranya, meski di dalam hati dia gelisah, kebingungan harus berbuat seperti apa. Dia mengangkat cangkir teh itu dan menyodorkannya ke Gio, berharap sedikit kehangatan bisa meredakan rasa sakit yang dialaminya.

Gio mengangkat kepalanya perlahan, menatap teh itu dengan mata sayu sebelum akhirnya mengambilnya dengan tangan gemetar. Dia menyeruput teh hangat itu perlahan, tapi rasa sakit di perutnya belum juga mereda. Raut wajahnya semakin tegang, dan Valeska tahu ini lebih dari sekedar rasa sakit biasa.

"Val, perut gue sakit banget" Suara Gio hampir tidak terdengar. Valeska panik. Dia tidak bisa hanya duduk dan melihat Gio menderita seperti ini.

"Ini serius? kalau sakit dia gini kah? manja banget. Tapi kasian." gerutu Valeska dalam hati.

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang