"Valeska, bangun... lo PMS ya?" bisik Gio lembut di telinga Valeska, suaranya tenang, seolah tidak ingin mengejutkannya.
Valeska menggeliat kecil, matanya perlahan terbuka, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya lembut yang menyusup dari jendela kamar. Dia menoleh perlahan, mendapati sosok Gio yang tersenyum menenangkan di sampingnya.
"Heuh? Apa, Ka?" tanyanya dengan suara serak khas baru bangun tidur, wajahnya masih bingung.
Gio menatapnya lembut, "Lo PMS? Celana lo banyak darahnya," bisiknya dengan nada pelan, seolah khawatir mengganggu ketenangan pagi itu.
Valeska tersentak, hampir saja duduk. Namun, dengan gerakan cepat, Gio menahannya, tangannya lembut namun tegas. "Eits, jangan duduk dulu. Nanti nempel di seprai," ucapnya, suaranya tetap tenang, meneduhkan.
"Terus gimana dong?" tanya Valeska, suaranya lirih, namun matanya mulai menunjukkan sedikit kekhawatiran.
Gio tersenyum tipis, lalu meraih tangan Valeska, melingkarkannya di lehernya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Valeska menuju kamar mandi. Keheningan pagi hanya diisi oleh suara langkah kaki Gio yang mantap di lantai kamar.
"Ah, gila. Udah banyak banget," gumam Valeska begitu melihat bayangan dirinya di cermin kamar mandi, ekspresi wajahnya antara terkejut dan tak percaya.
Gio hanya menatapnya sebentar sebelum berkata, "Kasih tau gue, apa aja yang perlu diambil?"
"Handuk, celana dalam, sama tolong ambilin pembalut gue di atas lemari kecil," jawab Valeska, suaranya terdengar lebih tenang sekarang.
"Ok," sahut Gio, senyum manis tak pernah hilang dari wajahnya. Dia beranjak menuju lemari, mengambil celana dalam dan pembalut yang diminta, lalu tak lupa meraih handuk dari balkon.
"Vall... Celana dalamnya mau warna apa?" teriak Gio dari depan lemari, dengan nada bercanda.
"Anjir, goblok banget. Warna apa aja, gue nggak mau pamer ke suami tetangga ini," balas Valeska, mencoba menahan tawanya dari dalam kamar mandi.
Gio terkekeh, "Mmm... pink aja deh, biasanya cewek suka pink," gumamnya sambil mengambil celana dalam berwarna pink dengan garis biru di bagian atas.
Sesaat kemudian, Gio mengetuk pintu kamar mandi dengan pelan, "Val..."
"Bentar, Kak..." jawab Valeska dari dalam, beberapa detik kemudian, pintu terbuka sedikit, hanya kepalanya yang menyembul keluar.
"Makasi, Ka Gio," ucapnya dengan senyum lebar yang tulus. Gio membalasnya dengan senyum kecil yang hangat, lalu berbalik menuju balkon untuk menikmati suasana teduh di pagi hari.
Hari itu adalah hari kedua Gio diskors dari sekolah. Dia menganggapnya sebagai sebuah keberuntungan dari Tuhan, kesempatan untuk menjauh dari bayangan Rahel yang masih mengganggu pikirannya.
"Rahel... aku nggak salah kalau aku nggak ngenalin kamu ke orang tua aku," gumamnya pelan. Ada kilatan kesedihan di matanya, tapi dia berusaha keras menepis perasaan itu.
***
Valeska dan Gio duduk berdua di dapur, menikmati sarapan sederhana yang disiapkan Valeska. Aroma makanan memenuhi udara, memberikan kenyamanan di tengah suasana pagi yang tenang.
"Ka, Bunda belum nemuin ART sampai sekarang?" tanya Valeska, memecah keheningan. Gio hanya menggeleng, mulutnya masih penuh dengan makanan.
Setelah menelan, Gio menjawab, "Tadinya udah, tapi Bunda bilang nggak sesuai. Soalnya udah terlalu tua, kasian, takutnya kecapean."
"Oh, gitu," sahut Valeska, mengangguk pelan.
"Hari ini gue anter lagi ya," ujar Gio, nadanya menawarkan tanpa keraguan. Namun, Valeska terlihat sedikit ragu, mengingat situasi Gio yang baru saja putus.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...