🌻Part 25. Harapan Valeska

501 85 34
                                    

Cinta bukan hanya tentang romansa, tapi juga tentang bertahan dan berusaha memahami satu sama lain, apapun yang terjadi.

_Giova Sandeva Dewangga_

***

Keesokan paginya, sinar matahari yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai, menciptakan permainan cahaya yang berlawanan dengan kegetiran yang semalam melingkupi hati Valeska. Keheningan pagi seolah mengantarkan kehangatan, namun tak cukup untuk meluluhkan sisa-sisa kepedihan yang masih bernaung di hatinya. Meski begitu, ia sudah membuat keputusan. Setelah malam yang dipenuhi air mata, Valeska bertekad takkan lagi tenggelam dalam kesedihan yang memerangkapnya. Ia akan kembali menjadi dirinya yang dulu, gadis yang selalu berhasil membuat Gio kesal dengan kejenakaannya, tetapi tetap tak tergantikan.

Dengan gerakan cepat, Valeska merapikan tempat tidurnya, seolah ingin menyingkirkan segala jejak kelemahan yang sempat singgah. Setelah selesai. Ketika dia baru saja ingin turun dari kasurnya, Valeska menyadari jika Gio tidak ada di atas sofa. "Loh, Ka Gio udah bangun?" gumamnya, sedikit terkejut saat tidak menemukan sosok pria tampan itu di sofa. Sejenak, ingatannya melayang ke kejadian semalam, pintu kamar yang ia kunci, membiarkan Gio terjebak di luar.

Valeska langsung mengambil handuknya dan membersihkan badan, dengan harapan hari ini akan menjadi hari yang begitu menyenangkan.

Di depan cermin, ia berdiri tegak, menatap bayangannya sendiri. Wajahnya mencoba menampakkan keceriaan yang dulu begitu alami, namun kini terasa seperti topeng yang terpaksa ia kenakan. Ia tersenyum, meskipun senyum itu lebih mirip dengan pantulan bayangan yang retak. "Welcome back, Valeska," bisiknya pelan, seolah mantra itu mampu memulihkan dirinya dari malam kelam yang baru saja berlalu.

Valeska sudah mengenakan seragam sekolahnya dengan lengkap, tak lupa rambut gelombang yang terurai rapih menambah kecantikan dirinya dipagi hari ini.

Langkah kakinya menuntunnya ke dapur, di mana aroma kopi hangat menyeruak di udara. Di sana, Valeska mendapati Gio sudah duduk dengan secangkir kopi di tangan, wajahnya memancarkan kelelahan yang masih tersisa. Tatapan cemasnya tak luput dari perhatian Valeska, seolah mencoba menembus dinding yang kini Valeska bangun untuk melindungi dirinya.

Namun, Valeska menampilkan wajah ceria yang kontras dengan suasana hatinya yang sebenarnya. "Tumben banget. Giliran ngga berangkat sekolah aja bangun cepet," ujarnya, berusaha mencairkan suasana dengan kejenakaan khasnya.

Gio menatapnya, masih bingung dengan perubahan mendadak itu. "Welcome back, Valeska," ucapnya, sama persis seperti apa yang Valeska ucapkan saat sedang bercermin di kamarnya. Gio merasa lega namun juga diliputi tanda tanya yang tak terjawab.

Valeska terkekeh pelan, lalu dengan santainya menyenggol lengan Gio. "Kangen kan lo sama gue," ucapnya dengan nada tengil yang begitu akrab di telinga Gio, seolah semalam tak pernah ada badai yang mengoyak hati mereka. Ia mengambil gigitan dari roti yang ada di piring Gio, matanya menyala dengan keisengan yang tak pernah benar-benar hilang. "Rotinya enak. Makasih."

Gio hanya bisa mengerutkan dahi, sedikit kesal namun tak mampu menahan senyum. "Stupid. Itu roti gue, Valeska."

"Kenapa lo nggak bikinin buat gue?" jawab Valeska dengan nada yang nyaris menantang, matanya bersinar dengan kekerasan hati yang ia paksakan.

"Ya kirain lo masih marah," jawab Gio dengan nada yang ragu, masih mencoba membaca perasaan Valeska.

Namun, sebelum Gio sempat melanjutkan, Valeska mengangkat tangannya, menghentikan pembicaraan dengan isyarat yang tegas. "Udah, Ka. Nggak usah dibahas lagi." Ia mengedipkan mata dengan gaya nakal yang selalu membuat Gio tertawa, meski kini hanya mampu membuatnya tersenyum kecut. Rasa cemas masih menggelayut di hatinya.

GIOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang