"Astaga, Shaviraaa... Apa aja yang lo bawa? Mobil lo penuh banget," seru Valeska takjub, melihat jok tengah mobil Shavira dipenuhi kardus besar.
Shavira mengikuti arah pandang Valeska dan terkekeh. "Hehe, itu baju-baju gue. Mau gue preloved, tapi saudara gue yang bakal ngurusin," jawabnya ringan.
"Ini sih lebih dari sekedar banyak," gumam Valeska, sambil duduk di jok mobil Shavira.
Mobil mulai bergerak pelan meninggalkan parkiran sekolah yang kini sunyi, seolah hanya mereka yang tersisa setelah semua hiruk-pikuk reda. Bahkan, para guru sudah pulang sebelum keributan antara Rahel dan Valeska dimulai.
Saat Shavira melaju perlahan ke gerbang, Valeska menyipitkan mata, pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang tak asing. Mobil itu terparkir rapi.
"Shav, itu mobilnya Kak Gio bukan sih?" tanyanya, ragu namun yakin.
Shavira menoleh. "Eh, bener Val. Itu mobil Kak Gio," jawabnya, memastikan.
Valeska dengan cepat membuka kaca mobil ketika mereka mendekati gerbang. Setelah keluar, ia melambaikan tangan ke arah Gio. "Kak, ngapain di sini?" tanyanya, suaranya sedikit menggoda.
"Jemput lo. Lama banget," jawab Gio, suaranya datar tapi terdengar resah.
"Oke, bentar," sahut Valeska, menutup kaca mobil kembali.
"Shav, gue batal nebeng, ya. Makasih banyak! Bye!" ujar Valeska, memeluk Shavira singkat sebelum turun dari mobil.
"Gue langsung cabut ya, takut disalahin Kak Gio gara-gara lo babak belur," ucap Shavira, sedikit cemas sambil melajukan mobilnya menjauh dari sekolah.
"Ka Gio!" seru Valeska, menyapa dengan senyum lebar. Tapi senyum Gio menghilang saat melihat wajah Valeska yang penuh lebam. Ada bekas darah di pelipisnya, dan plester yang menempel di dahi.
"Hidup lo bikin onar mulu" ujar Gio, nada suaranya terlihat santai tapi sebenarnya penuh kekesalan dan kemarahan yang tersembunyi.
"Ah, cuma abis main sirkus doang, Kak," jawab Valeska, mencoba bercanda. Tapi pandangan Gio menajam, wajahnya berubah serius, penuh ketegangan.
"Masuk," perintah Gio singkat, membuka pintu mobilnya.
Setelah memastikan Valeska masuk dan pintu tertutup rapat, Gio memutar arah dan melajukan mobilnya tanpa sepatah kata. Keheningan menyelimuti mereka.
"Ka Giooo, gue nggak apa-apa kok. Serius deh, gue nggak berulah," Valeska berkata seperti anak kecil yang ketakutan, berusaha meredakan ketegangan.
Namun, Gio tetap diam. Pandangannya lurus ke depan, seolah tak mendengar apapun.
"Ka Giooo, lo marah ya?" tanya Valeska lagi, tapi tak ada respon. Wajah Gio tetap dingin, tatapannya kosong.
Valeska menatap wajah Gio dari samping, merasa kecewa. "Ka Giooo, kok diemin gue sih?" rengeknya lagi, tapi hanya kesunyian yang menemani.
Valeska menggerutu pelan, "Tau gitu, tadi gue sama Shavira aja."
Tiba-tiba, mobil berhenti di depan sebuah klinik kecil. Gio memecah keheningan dengan suara tegas, "Turun. Luka lo harus diobatin." Valeska menatap bangunan dua lantai di hadapannya.
Gio turun lebih dulu, diikuti Valeska yang masih terdiam, tapi ada senyum kecil yang tertahan di bibirnya.
"Mau sampai kapan di dalam mobil, Valeska?" panggil Gio dari luar, suaranya menggetarkan udara sore.
"Ah, iya, iya,"
Valeska bergegas keluar dari mobil, mengikuti langkah-langkah panjang Gio yang penuh dengan ketegasan. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi ia hanya bisa memikirkan ekspresi Gio yang sedari tadi tak bergeming. Tatapan itu, dingin namun penuh kekhawatiran, membuat Valeska merasa tersudut meski ia tak ingin mengakuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIOVA
Teen FictionPernikahan saat SMA Di kota kecil, Gio dan Valeska, dua remaja SMA, terpaksa menikah karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Meskipun mereka awalnya saling tidak suka dan tertekan oleh situasi tersebut, pernikahan ini memaksa mereka unt...