54

206 23 13
                                    

Kalau ada typo atau kesalahan nama tolong di tandai ya biar aku bisa revisi nanti.

Komen yang banyak bair semangat terus up nya, kabar baik!! Aku bakal usahain setiap hari up tapi syaratnya komen lebih dari 30, vote nya 50 bisa gal ya? 😀

___

"Ibu, aku datang."

Suara Ton bergetar, meski begitu ia berusaha menahan emosi yang berdesakan di dadanya. Di hadapannya, berdiri tegak nisan dengan ukiran nama yang begitu akrab, begitu melekat dalam ingatannya. Nama itu, nama ibunya. Ton tersenyum pedih, senyum yang tak mampu menutupi rasa kehilangan yang terus membayangi sejak kepergian ibunya. Setelah sekian lama berjuang untuk berani datang, akhirnya hari ini dia tiba.

Dia perlahan berjongkok, kemudian duduk di samping nisan tanpa peduli seragam sekolahnya yang mulai kotor terkena tanah kuburan. Di tangannya, ia menggenggam setangkai bunga mawar putih—bunga kesukaan ibunya. Ton meletakkannya dengan hati-hati di atas pusara, seakan berharap keindahan mawar itu bisa mewakili kerinduan yang tak terucapkan.

"Ibu, maaf baru bisa datang," suaranya pelan, hampir tertelan angin yang berembus lembut di sekelilingnya. Mata Ton mulai berkaca-kaca, tapi dia tetap berusaha tegar. "Jujur... aku belum siap nerima kenyataan kalau ibu udah nggak ada." Kata-kata itu keluar dengan susah payah, seperti beban berat yang akhirnya dilepaskan.

Ton terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Selama ini, dia selalu menunda untuk datang ke tempat ini, takut menghadapi rasa kehilangan yang sebenarnya. Setiap kali ingin datang, dia selalu menahan diri, berpura-pura bahwa ibunya masih ada di suatu tempat, menunggunya pulang seperti biasa. Namun hari ini, di sini, di hadapan nisan ini, dia harus menerima kenyataan yang paling pahit dalam hidupnya—ibunya telah tiada.

"Ibu..." Suara Ton mulai pecah. "Aku masih ingat janji ibu waktu itu, kalau ibu bakal selalu ada buat aku. Tapi sekarang..." Air matanya akhirnya jatuh, satu per satu membasahi pipinya. "Aku gak tahu harus gimana tanpa ibu."

Dia memeluk lututnya erat-erat, membiarkan tangisnya pecah di tengah sepi. Setiap kenangan tentang ibunya melintas di pikirannya, dari senyuman hangat ibunya saat menyambutnya pulang, hingga nasihat-nasihat lembut yang selalu membuatnya merasa tenang. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.

"Aku kangen, Bu..." bisiknya, nyaris tak terdengar.

Hembusan angin kembali berdesir, seolah membelai lembut wajah Ton yang basah oleh air mata. Meski ibunya sudah tak ada, Ton bisa merasakan kehadirannya, seakan sang ibu masih menjaga dan merangkulnya dalam keheningan ini.

"Ibu, Ton mau nerima semua ini."

Ton berhenti sejenak, menutup matanya, lalu menarik napas dalam-dalam. Suara angin yang berdesir lembut dan aroma tanah basah menemani keheningan sejenak. Setelah merasa cukup tenang, ia melanjutkan, "Selama ini, Ton merasa terjebak dalam kemarahan dan kesedihan yang terus menghantui. Ton merasa kehilangan arah, seperti terperangkap dalam kegelapan yang tak kunjung berakhir."

Dia merasakan beratnya beban yang terus menindihnya. Setiap hari berlalu dengan rasa tertekan dan ketidakpastian, membuatnya merasa seolah hidupnya terperosok dalam lubang yang dalam. Kini, di hadapan nisan ibu yang terkasih, Ton akhirnya merasakan dorongan untuk bangkit.

"Tapi Ton tahu, Bu, Ton gak bisa terus seperti ini. Kehidupan terus berjalan, dan Ton gak bisa terjebak dalam kemarahan yang cuma membuat semuanya semakin berat."

Ton merasakan hembusan angin yang menyentuh kulitnya, membawakan kesejukan yang terasa menenangkan. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba meresapi ketenangan di sekelilingnya. Setelah beberapa saat, dia melanjutkan dengan suara yang penuh tekad.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang