end

204 21 10
                                    

Yoon berdiri dengan tegap, genggamannya erat pada setangkai mawar hitam yang kini mulai layu. Kata orang, bunga mawar hitam adalah lambang kesedihan yang mendalam, perpisahan abadi, atau rasa kehilangan yang tak terungkapkan oleh kata. Bagi Yoon, bunga itu mewakili kepergian Ton, yang meninggalkan luka tak tersembuhkan di hatinya.

Dia berjongkok di depan pusara, jari-jarinya meraih tanah merah yang telah mengering. Di atas nisan itu, terukir nama seseorang yang telah sebulan pergi tanpa pamit, hanya meninggalkan jejak kenangan yang menghantui.

"Lo jahat." Dua kata itu akhirnya keluar dari mulutnya, suaranya bergetar, seperti melawan tangis yang sudah terlalu lama dipendam.

"Lo udah janji jadi orang yang pertama yang gue lihat, tapi lo malah pergi... Mana gak pamit lagi," Yoon tertawa hambar, tertawa yang lebih mirip dengan isak yang tertahan.

"Oh iya, lo pamit sih... Tapi kan cuma pamit buat ziarah ke makam Bi Nana." Air matanya jatuh, dia menyeka kasar pipinya, seakan marah pada dirinya sendiri yang masih lemah dan terluka.

Yoon menggenggam tanah yang sudah mengering, seolah ingin mengembalikan waktu, seolah ingin merasakan kehadiran Ton sekali lagi. “Mereka jahat, tau, Ton. Masa gue gak dikasih tahu soal kecelakaan lo? Terus, pas gue dapet donor mata, mereka gak ngasih tahu kalau yang donorin itu lo. Gue kayak orang bego, teleponin lo berkali-kali, nanyain kabar lo...” Yoon tertawa getir, suaranya pecah. "Tapi pas gue bisa lihat lagi, ternyata lo udah gak ada..."

"Ton, tau gak sih? Gue marah banget sama mereka. Mereka nyembunyiin semua ini. Sampai sekarang, gue gak ngomong sama mereka, gue jadi tertutup. Lo tau kan, gue bukan orang yang gampang deket sama orang lain. Tapi lo... Lo bikin gue percaya lagi, dan lo ninggalin gue gitu aja."

Yoon menggigit bibir, menahan perih yang menggeliat dalam hatinya. "Kenapa semesta jahat ya sama lo? Kenapa harus lo? Padahal lo belum sempat bahagia... Lo belum sempat nikmatin apa yang udah terjadi."

Yoon memejamkan matanya, menahan tangis yang semakin deras. Kenangan tentang operasi itu kembali menghantui. Satu bulan lalu, dia dan sahabatnya diberitahu bahwa mereka akan menerima donor. Yoon mendapat mata, Win menerima jantung, dan Daniel mendapatkan ginjal. Tapi tak ada yang memberi tahu mereka siapa yang memberi kehidupan kedua itu.

Yoon selalu bertanya tentang Ton tapi mereka hanya memberi tahu bahwa Ton sedang pergi ke rumah Oma-nya.

Saat perban mata Yoon dibuka, saat dia berharap bisa melihat senyum Ton di hadapannya, hanya keheningan yang menyambut. Lalu, kebenaran datang seperti pukulan telak. Orang yang memberikan semua itu adalah Ton—teman yang selama ini ia panggil tanpa jawaban.

Ayahnya menceritakan dengan suara yang berat, bahwa Ton mengalami kecelakaan dan mati otak. Keluarganya mengikhlaskan kepergiannya, menyisakan Yoon dalam kebisuan dan luka yang tak terucapkan. Yoon meremas tanah di tangannya, membiarkan air matanya jatuh bersama harapan yang tak lagi bisa diraih.

Sementara itu, di kediaman Mew, rumah terasa sunyi seperti kuburan. Gulf setiap hari berada di kamar si sulung, menangis atau bahkan tertidur di sana, seolah mencari kehangatan yang hilang dari dekapan seorang anak. Rasa kehilangan seorang ibu, yang telah melahirkan dan membesarkan dengan penuh cinta, tak pernah bisa diukur dengan kata-kata.

Win mengurung diri di kamar, tak lagi membuka pintu hatinya untuk siapa pun. Pawat, yang biasanya riang, menyibukkan diri dengan les demi menghindari bayang-bayang kenangan. Mew, sebagai kepala keluarga, terbenam dalam pekerjaannya di kantor, mencoba lari dari kenyataan pahit.

Di sudut lain, Kamila menyerahkan diri ke polisi, menanggung beban penyesalan atas masa lalu yang tak bisa dihapus. Tapi Mew tetap tidak peduli, rasa sakit telah mengikis empatinya.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang