62

181 22 5
                                    

Apo duduk diam di ujung kasur, matanya menatap jendela yang kini menyisakan embun pagi. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik pepohonan, seakan enggan sepenuhnya membangunkan dunia. Di balik kaca, daun-daun masih basah oleh tetesan embun yang menggantung, seperti memeluk pagi dalam keheningan.

Mile baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya setengah basah, tergerai di atas handuk yang menggantung di leher. Usia mungkin telah mengejarnya, namun tubuhnya masih tetap tegap, otot-ototnya terpahat seperti arca, seolah waktu tak pernah menyentuhnya. Ia berjalan pelan, duduk di samping Apo, merasakan keheningan yang terasa lebih berat dari biasanya.

“Kenapa?” tanya Mile, suara rendahnya memecah keheningan yang sudah terjalin rapat.

Apo tidak langsung menjawab. Matanya masih tersangkut di jendela, pada embun yang perlahan menguap, seakan membawa pergi sisa-sisa pikiran yang menyesakkan.

“Gak apa-apa,” jawabnya akhirnya, dengan suara pelan, “Aku cuma lagi mikirin anak-anak.”

Mile berdiri, melangkah ke lemari. Tangannya meraba-raba kain, memilih baju untuk hari yang tak menuntut banyak. “Anak-anak kenapa?” tanyanya sambil memilih kaos santai.

“Yoon, Ton, Daniel, kasihan mereka,” gumam Apo. “Mereka gak tau apa-apa tapi harus jadi korban masa lalu orang tua mereka. Terutama Ton.”

Mile terdiam sejenak, pakaian yang dipilihnya tergantung di tangannya. Sebuah pemikiran menyelinap dalam benaknya. “Aku juga heran kenapa Zee nyuruh anak nya buat jauhin Ton padahal dia pengen banget hak asuh Ton. Sama kenapa Zee sama tay pengen banget buat dapetin hak asuh Ton?"

Selama ini, persahabatan yang pernah kuat antara mereka terhempas oleh tragedi. Mile tak pernah tahu seluruh kebenaran. Ia hanya tahu Mew, sahabat mereka, dikutuk atas kematian Max.

“Karena mereka sayang. Waktu Ton masih kecil, mereka gak pernah lepas dari anak itu. Kamu lihat sendiri kan mereka sayang banget sama Ton,” ujar Apo pelan.

“Iya, masuk akal. Tapi tetap aja aneh,” jawab Mile dengan dahi berkerut.

“Kamu yang aneh,” Apo menatap Mile, sedikit senyum terselip di sudut bibirnya. “Kenapa baru mikir sekarang? Kenapa gak dari dulu? Malah bantuin Zee buat dapetin hak asuh itu."

“Karena aku—”

“Karena kamu masih terjebak dalam prasangka lama,” potong Apo. "Kamu terlalu menyalahkan Mew atas kematian Max. Tapi sekarang lihat apa yang Zee lakuin. Apa kamu gak curiga sedikit pun?”

“Curiga soal apa?” tanya Mile, kini berdiri di depan cermin, memperbaiki rambutnya.

Apo berdiri, mengambil handuk yang tertinggal di atas kasur. “Curiga kalau ini cuma permainan Zee,” katanya. “Kamu tahu seberapa besar kebencian Zee dan Off ke Mew setelah semua yang terjadi.”

“Tapi kan itu memang salah Mew,” gumam Mile.

Apo menghela napas panjang, menggantung handuk Mile. “Salah atau enggak, gak seharusnya anak-anak dibawa dalam pertarungan orang tua mereka. Anak-anak gak tau apa-apa, mereka gak pernah memilih untuk dilibatkan dalam dosa masa lalu.”

Langkahnya perlahan menuju pintu, meninggalkan Mile yang terdiam, terjebak dalam bayangan masa lalu yang kembali menghantui.

Apo berdiri di balik pintu, menghela napas panjang. Setelah obrolan yang panjang tadi, ia memutuskan untuk pergi, langkah kakinya membawanya menuju dapur—tempat di mana ia selalu menemukan ketenangan. Aroma kopi dan suara pelan peralatan masak menjadi penghibur setianya. Cahaya matahari pagi mulai masuk dari jendela, memantulkan kilau lembut di atas meja, sementara udara pagi yang dingin perlahan menyapa kulitnya.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang