Kalau ada typo atau kesalahan nama boleh minta tolong buat di tandai ya!!
Jangan lupa vote dan komen ya, gak bakal buat kalian cape ko hehe, itu buat semangat aku aja
____Ton menelan ludah, rasa panas di telinga semakin menjadi. Hujan yang tadinya hanya menyiram tubuhnya, kini seolah tak seberapa dibandingkan kata-kata pedas yang meluncur dari bibir Tante Ajeng.
"Anak pembawa sial." Suara itu menggema di benaknya, mengguncang perasaannya yang sudah rapuh.
Ton menggeretakkan gigi, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Omongan kosong," pikirnya, mencoba menguatkan diri.
Dia melirik Mew yang duduk di sofa, masih sibuk dengan laptopnya. Mew selalu seperti itu, lebih memilih diam saat ada pertengkaran. Dan itu membuat Ton merasa lebih sendirian.
"Kamu denger gak apa yang Tante bilang, Ton?" Ajeng berdiri dari tempat duduknya, menghampiri Ton dengan tatapan yang seakan siap membakar. "Kamu itu gak pantas tinggal di sini. Apa lagi yang kamu tunggu? Kenapa gak pergi aja sekalian, hah?"
Ton mengangkat dagunya, menantang tatapan Ajeng dengan sisa keberaniannya yang mulai menipis. "Aku pergi kalau aku mau. Bukan karena disuruh sama orang kayak Tante."
Plak!
Tangan Ajeng melayang di pipi Ton, meninggalkan bekas merah yang memanas. Mew menengok sejenak, tapi hanya mendesah, kembali fokus pada layar laptopnya seolah tidak ada yang terjadi.
Ton menatap Ajeng dengan tatapan marah namun tak berdaya. Rasanya tubuhnya kaku, seolah terjebak di antara keinginan untuk membalas dan ketakutan akan konsekuensinya.
"Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi sama saya!" ujar Ajeng dengan suara yang menggelegar. "Kamu itu gak tau diri, di sini cuma jadi beban!"
Ton memutar badannya, tidak ingin membalas. Dia menahan air mata yang sudah berkumpul di ujung mata. "Aku gak akan nangis. Bukan di depan mereka," bisiknya pada diri sendiri.
Dengan langkah cepat, dia berlari menuju kamarnya, membanting pintu dengan keras. Di dalam sana, dia akhirnya melepaskan semuanya. Tepat saat pintu terkunci, air matanya pun tumpah.
Sudah lelah menangis, Ton memutuskan untuk mandi. Air dingin dari shower mengguyur tubuhnya, tetapi dinginnya tidak seberapa dibandingkan dengan perasaan hampa yang ia rasakan di dalam. Kata-kata tajam Tante Ajeng masih terngiang-ngiang di telinganya, menusuk hati yang sudah berkali-kali terluka.
Seperti biasa, setiap kali keluarga dari pihak ayah ataupun Papah nya datang, caci maki tidak pernah berhenti. Mereka tak pernah melihat Ton sebagai bagian dari keluarga, seolah kehadirannya hanyalah beban. "Anak sial, nggak pantas tinggal di sini." Kalimat-kalimat itu terus berulang di kepalanya, membuat dadanya sesak. Mereka tidak peduli, bahkan ketika Ton sudah jatuh sejatuh-jatuhnya.
Di bawah guyuran air, Ton kembali menangis dalam diam. Air mata bercampur dengan air yang membasahi wajahnya, namun air itu tak bisa membasuh luka yang begitu dalam. Di sini, di kamar mandi yang sunyi, Ton hanya bisa mencoba menenangkan diri, meski ia tahu betapa sulitnya itu. Rasa dingin mulai merasuk hingga ke tulangnya, tapi ia tidak peduli. Sakit fisik ini terasa lebih ringan dibandingkan rasa sakit yang disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.
Setelah hampir tiga puluh menit, Ton akhirnya keluar dari kamar mandi. Tubuhnya pucat, menggigil hebat. Mungkin bukan hanya karena hujan yang mengguyurnya sebelumnya, tapi juga karena dia terlalu lama berdiam diri di bawah shower air dingin.
Dengan tangan gemetar, ia mencari baju dan celana di dalam lemari, menyatukan potongan demi potongan pakaian dengan gerakan lambat. Begitu selesai, ia menatap cermin sejenak—wajahnya terlihat begitu lelah dan kosong. Ton merasa seperti bayangan dirinya sendiri, tanpa tujuan, tanpa harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang berbeda
Teen Fiction⚠️banyak typo dan nama yang salah, belum di revisi⚠️ Cerita ini bukan hanya tentang rasa sakit yang dirasakan Ton, tapi juga tentang perjalanan setiap karakter yang terlibat di dalamnya. Setiap tokoh menyimpan luka dan rahasia mereka sendiri, masing...