Berbeda dengan rumah Ton yang selalu diselimuti tanda tanya, rumah Mile seperti dilukis oleh senja yang kehabisan kata. Sunyi menjadi tamu yang betah berlama-lama di sudut-sudut ruang, seolah keheningan adalah satu-satunya bahasa yang dipahami oleh penghuni rumah ini.
Yoon duduk di meja makan, namun kehadirannya seperti bayangan samar. Gerakan tangannya memungut sendok begitu lambat dan hati-hati, seolah sedang meniti garis tipis antara kenyataan dan ilusi. Makanan di piringnya berkurang perlahan, namun ia seperti tak benar-benar merasakan apa yang ia makan. Hanya diam, tak satu pun kata terlontar dari bibirnya yang pucat. Hening begitu pekat hingga detak jarum jam terdengar seperti dentang lonceng dari kejauhan.
Sementara itu, Mile, Apo, Dew, dan Aidan duduk di seberang, masing-masing terperangkap dalam kebisuan yang membuat jarak di antara mereka terasa semakin tak terjangkau. Mata mereka saling menatap satu sama lain, namun tak satu pun berani menatap Yoon. Mereka tahu, Yoon yang dulu ceria dan hangat kini telah menghilang entah ke mana, menyisakan sosok yang terasa semakin jauh, semakin tak terjamah, seperti bayang-bayang yang memudar di ujung senja.
Sunyi menggantung di udara, mengisi ruang-ruang kosong dalam hati mereka, seakan rumah ini tak lagi mengenal tawa, hanya menyisakan kepedihan yang terbungkus dalam kebekuan. Yoon adalah bagian dari mereka, tapi saat ini, ia seperti menjadi asing.
Di tengah kesunyian yang kian menebal, hanya hembusan napas Aidan yang terdengar. Kasar dan terputus-putus, seperti angin yang terjebak di antara celah-celah hati yang retak. Suara itu memecah keheningan, tapi tak satu pun dari mereka yang bergerak, seolah telah terbiasa membiarkan kesunyian menguasai.
Namun, tiba-tiba Aidan mengangkat wajahnya, matanya yang selama ini tertunduk kini dipenuhi amarah dan kerinduan yang membuncah. Suaranya pecah, menggema di ruangan yang telah terlalu lama hampa.
“Sampai kapan mau begini?!” Seru Aidan, nada suaranya mengguncang seluruh ruang, menimbulkan gema yang menusuk ke setiap sudut hati mereka. “Sampai kapan Bang Yoon mau terus diam? Aku kangen! Kangen sama Bang Yoon yang dulu!”
Kata-katanya menghantam seperti gelombang besar yang menghempaskan kapal di tengah badai. Semua mata kini menoleh ke arahnya. Aidan bergetar, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena perasaan rindu yang tak mampu ia bendung lagi. Ada luka yang tertanam begitu dalam di matanya, sebuah luka yang lahir dari kehilangan sosok Yoon yang dulu ia kenal—Yoon yang penuh canda tawa, yang hangat dan hadir, bukan Yoon yang kini seperti bayang-bayang yang semakin memudar.
Mile, Apo, dan Dew saling bertukar pandang, masing-masing terdiam dalam keterkejutan mereka. Suara Aidan merobek kebekuan di antara mereka, tapi kata-katanya seperti memantul di dinding-dinding kesunyian, tak mampu menjangkau Yoon yang masih duduk diam di tempatnya, tenggelam dalam dunia yang tak lagi bisa mereka masuki.
Yoon hanya diam, berusaha keras agar tidak goyah. Senyum tipis terukir di wajahnya, tapi senyum itu palsu, seperti topeng yang mulai retak. "Maaf, Abang cuma lagi mikirin tugas," katanya, mencoba menenangkan gelombang yang mulai bergulung dalam dada Aidan.
Namun Aidan tak terbuai oleh kata-kata itu. Matanya yang tajam menusuk ke arah Yoon, tak lagi percaya pada kebohongan yang terucap. "Bohong!" teriaknya, penuh luka yang tak bisa lagi disembunyikan. "Abang selalu nyembunyiin ini. Kenapa, sih, Bang? Kenapa selalu ngumpetin semuanya?"
Tapi sebelum jawaban keluar dari bibir Yoon, suara tegas Mile memotong ketegangan yang melingkupi mereka. "Aidan, duduk dan makan!" perintahnya, suara yang tak bisa dibantah. "Kita bicarain ini nanti."
Dengan setengah hati, Aidan duduk kembali, dan suasana di meja makan berubah menjadi sunyi yang menggantung. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar, seakan mereka sedang makan bukan untuk mengisi perut, tapi untuk menunda percakapan yang tak seorang pun berani mulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang berbeda
Teen Fiction⚠️banyak typo dan nama yang salah, belum di revisi⚠️ Cerita ini bukan hanya tentang rasa sakit yang dirasakan Ton, tapi juga tentang perjalanan setiap karakter yang terlibat di dalamnya. Setiap tokoh menyimpan luka dan rahasia mereka sendiri, masing...