66

152 15 3
                                    

Pagi hadir lagi, menyusupkan cahayanya dengan lembut melalui celah-celah jendela, diiringi kicau burung yang saling bersahutan, seolah menyambut hari baru. Di kamar yang sunyi itu, sinar matahari menari di atas wajah Ton yang terlelap, membangunkannya dari mimpi-mimpi. Ia menggeliat pelan, matanya perlahan terbuka, menangkap kilau lembut cahaya pagi yang masih ragu-ragu di ujung langit.

Ton menghela napas panjang dan bangkit dari ranjangnya. Wajahnya masih diselimuti kantuk, namun dentingan alarm yang terus berdering memanggilnya untuk segera beranjak. Mandi menantinya, tapi langkahnya belum juga beranjak, pikirannya melayang-layang sejenak, seperti mencari-cari serpihan nyawa yang masih tersebar di sudut-sudut tidurnya.

Di sela-sela keheningan pagi, pandangan Ton beralih ke arah sofa. Senyuman kecil merekah di bibirnya, seperti embun yang jatuh di ujung daun. Di sana, sebuah boneka besar duduk tenang, dengan boneka babi kecil yang bersandar di pangkuannya. Pemandangan itu membawa hangat ke dalam hatinya, seolah boneka-boneka itu adalah penjaga mimpinya, yang setia menunggu di tepian pagi.

Ton akhirnya memilih untuk bangkit, dengan langkah ringan yang berubah menjadi lari kecil menuju sofa. Tawa lembut keluar dari bibirnya, dan tanpa ragu, ia meraih boneka besar itu, menariknya ke dalam pelukannya. Ia mendekapnya dengan erat, seperti menggenggam sebuah harapan yang tak ingin ia lepaskan. Sejenak, ia menutup mata, membiarkan imajinasi menyulap boneka itu menjadi Yoon, sosok yang selalu hadir dalam pikirannya.

"Aaah, gemasnya!" gumam Ton, penuh kehangatan, suaranya bercampur antara tawa dan rindu yang tak terucapkan.

Setelah puas bermain dengan bayang-bayang pagi dan boneka yang kini tersenyum seolah tahu rahasia hatinya, Ton pun melepaskan pelukannya. Ia beranjak menuju kamar mandi, berjalan pelan-pelan, seakan tiap langkah adalah jeda bagi pikirannya yang masih tertinggal di antara mimpi-mimpi semalam.

Air yang mengalir dari pancuran menyentuh kulitnya, dingin namun segar, seolah membasuh kantuk yang menempel di ujung-ujung matanya. Ritual mandi yang selalu terasa monoton kini menjadi jeda yang menenangkan, seiring uap hangat yang mengaburkan kaca di depannya. Di bawah air yang mengalir, Ton membiarkan pikirannya terbawa oleh arus, memikirkan hari yang menantinya.

Selesai mandi, ia berjalan kembali ke kamarnya, tubuhnya terasa lebih segar, seolah bersiap menyambut hari baru. Ia membuka lemari, meraih seragam putih abu-abunya yang tergantung rapi. Seragam itu menjadi saksi hari-hari yang ia jalani, menyimpan cerita suka dan duka di antara serat-seratnya.

Ton mengenakan seragam itu dengan gerakan tenang, membetulkan kerah dan mengancingkan kemeja putihnya. Dia menatap bayangan dirinya di cermin, tersenyum kecil, seolah memberi semangat pada dirinya sendiri. Sepasang sepatu hitam diletakkannya di kaki, melengkapi penampilannya yang kini siap berhadapan dengan dunia luar. Sebelum melangkah keluar kamar, ia sempat menoleh ke arah boneka yang masih setia duduk di sofa, seolah berpamitan. Lalu, dengan semangat yang ia kumpulkan perlahan, Ton melangkah keluar, meninggalkan kehangatan pagi yang menyelimuti kamarnya untuk menyambut hari baru di sekolah.

"Selamat pagi, Papah!" Sapa Ton riang setelah tiba di ruang makan, senyumnya mengembang seperti mentari pagi yang baru saja bangkit dari tidurnya.

Gulf, menoleh. "Selamat pagi, Bang. Udah bangun aja," ujarnya sambil melirik jam dinding di sudut dapur. Jarum panjangnya baru saja melewati angka 25, menandakan pukul 06.25.

"Iya, aku mau ke kamar Ibu dulu," sahut Ton, meletakkan tasnya di kursi meja makan.

"Oh ya udah, boleh." Gulf mengangguk perlahan. Senyum simpul terlukis di bibirnya, lalu ia kembali pada kesibukannya di dapur, meraih alat-alat yang berserakan di atas meja. Sementara itu, langkah-langkah Ton mengarah ke belakang, menuju kamar Bi Nana yang masih menyimpan segala kenangan.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang