67

160 23 9
                                    

Motor Ton kembali melaju, meninggalkan TPU yang kini semakin sunyi. Senja yang tadi menyelimutinya perlahan lenyap, ditelan oleh kelamnya langit yang berwarna kelabu. Awan hitam menggantung rendah, seperti menggumpal di dada malam yang akan segera menguasai cakrawala. Satu demi satu, rintik hujan jatuh dari langit, hingga akhirnya, titik-titik kecil itu menjadi deras, membasahi jalan dan mengiringi panggilan adzan Maghrib yang menggema dari kejauhan.

Di balik helm, Ton mendengus pelan, menyembunyikan rasa kesalnya. Tapi, ia tetap memacu motornya meski setiap tetes hujan terasa seperti dentuman kecil di punggungnya yang sudah mulai kaku. Hujan dan angin malam bersekutu, mendinginkan tubuhnya, tapi ia tak peduli.

Motor Ton mulai merambah jalanan kompleks yang lengang, di antara lampu-lampu jalan yang temaram dan bayangan pohon yang menari oleh hembusan angin. Ada rasa gelisah yang merayap di hatinya, firasat yang entah datang dari mana, seolah ada sesuatu yang menunggunya di depan sana. Namun, Ton mengabaikan rasa itu, menekan gas lebih dalam, membiarkan hujan menampar wajahnya yang letih.

Sampai di depan mansion keluarganya, Ton mematikan mesin dan melepaskan helmnya. Semburat hujan langsung menyerbu wajahnya, mengalir dari rambut yang sudah lepek, membasuh lelah yang mengendap di matanya. Dengan suara berat, ia memanggil penjaga gerbang.

“Pak!” serunya, menggema di antara suara hujan. Dua satpam yang bertugas di pos jaga segera berlari ke arah gerbang, tergopoh-gopoh dalam pakaian yang tak kalah basah.

“Aduh, Aden kenapa pulang hujan-hujanan begini?” salah satu dari mereka berseru cemas, raut mukanya memelas menatap tubuh Ton yang kuyup.

Ton hanya mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, lalu kembali memacu motornya memasuki halaman luas mansion itu. Jalur berkerikil di bawahnya berderak pelan diiringi gemuruh hujan yang terus memukul permukaan bumi. Lampu-lampu taman yang berpendar seperti lentera mengantarnya, menyusuri jalan panjang yang seakan tak berujung.

Setibanya di depan garasi, Ton turun dari motornya, membawa helm yang masih meneteskan sisa hujan. Ia menepuk-nepuk seragamnya yang basah, berusaha menghilangkan dingin yang mulai merayapi tulangnya. Sepasang kakinya bergerak menyusuri lantai marmer menuju pintu depan, tapi langkahnya terhenti ketika sayup-sayup terdengar suara yang berbeda di antara hujan.

Suara teriakan. Serak, seperti terlontar dari bibir yang gemetar.

Rasa penasaran menyalakan sesuatu di dadanya. Tanpa pikir panjang, Ton berlari ke dalam, membelah deru hujan yang semakin deras.

“Ini ada apa?” tanyanya, suaranya menggema di dalam ruang besar yang dipenuhi bayang-bayang.

Namun, hanya kehampaan yang menyambutnya, dan kilat yang tiba-tiba menyambar di luar sana, menerangi sejenak kesendirian yang menguap dari dinding-dinding rumah itu.

Gulf berdiri di sisi jendela yang dihiasi embun tipis akibat hujan. Begitu melihat Ton, dia segera berjalan mendekat, menggenggam tangan putranya dengan lembut, merasakan dingin yang meresap dari kulit Ton ke dalam genggamannya. Ada rasa takut yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya, namun kegundahan itu terungkap dari caranya bicara.

“Ton dari mana?” tanyanya lembut, berusaha menenangkan suaranya yang sedikit gemetar, menyamarkan kekhawatiran yang berkelebat di matanya.

Ton mengernyit, pandangannya beralih ke ruangan itu. Ayah, adiknya, dan sang nenek tampak saling berhadapan, seolah-olah ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang tidak ia ketahui. Atmosfer di ruang itu terasa ganjil, seperti rahasia yang lama terpendam kini sedang berusaha keluar ke permukaan.

Gulf segera memotong tatapan penasaran Ton. “Abang, mending mandi dulu, habis itu makan ya, biar nggak masuk angin. Nanti Papah siapin teh hangat buat Abang, ya? Ayo, biar sehat,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ramah, namun terselip kegelisahan yang sulit disembunyikan.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang