59

121 12 3
                                    

Off tersenyum tipis, senyum yang penuh arti, tapi juga menyimpan rasa kepuasan yang aneh. Di bawah payung pantai, dengan angin laut yang sejuk menerpa wajahnya, dia meraih ponsel yang ada di pangkuannya. Jari-jarinya dengan cepat membuka kontak yang lama tak tersentuh—nomor yang sudah bertahun-tahun tidak ia hubungi. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat nama yang terpampang di layar.

Mew.

Tangan Off sedikit gemetar saat ia mulai mengetik. Bukan karena takut, melainkan karena antisipasi, sebuah kelegaan yang akhirnya akan ia rasakan setelah sekian lama memendam. Kata-kata pertama keluar dari pikirannya begitu saja, tanpa disaring. Ketajaman dendam yang tertahan selama ini akhirnya menemukan celahnya.

"Masih inget gue?"

Off menekan tombol kirim, tapi belum puas. Dia beralih ke kamera, mengarahkan ponselnya ke arah Ton yang masih asyik dengan istana pasirnya. Off mengabadikan momen itu—Ton yang tersenyum, polos dan tak tahu apa-apa. Setelah beberapa detik, Off kembali mengetik, lalu menyertakan foto itu di dalam pesan berikutnya.

"Anak lo keliatan bahagia. Sayang banget, ya?"

Off mengirim foto itu tanpa ragu. Di dalam pikirannya, ia bisa membayangkan reaksi Mew saat melihat gambar itu. Wajah Ton, bocah tak berdosa yang selama ini Mew cintai, sekarang ada di tangan orang yang paling ingin menghancurkannya. Ada sesuatu yang memuaskan dalam bayangan itu—tentang bagaimana Mew akan panik, khawatir, mungkin bahkan ketakutan.

Ini baru permulaan, pikir Off. Sebuah langkah kecil menuju rencana yang lebih besar. Dendam yang ia simpan selama bertahun-tahun akhirnya akan terbayar, dan Ton, meski tak bersalah, adalah bagian dari rencana itu. Off tahu, Mew akan melakukan apa saja demi anaknya—dan itu adalah kartu as yang Off pegang erat-erat.

"Ayo, kita lihat seberapa cepat lo datang buat anak lo," Off bergumam dengan nada dingin, sambil melempar pandangan sekilas ke arah Ton.

Sedangkan di sana. M BBew duduk di meja kantornya, dikelilingi oleh tumpukan berkas yang harus diselesaikan. Tangan-tangannya dengan cekatan menelusuri lembar demi lembar, tanda tangannya mengalir cepat di setiap dokumen yang memenuhi standar. Namun, tak sedikit yang ia tolak dengan ekspresi tegas, sesuai dengan ketatnya aturan yang sudah ia terapkan di perusahaannya. Baginya, tidak ada ruang untuk kesalahan.

Dia menghela napas dan melirik Renaldi, asistennya yang selalu siap di sisinya. "Jadwal apa lagi?" tanyanya, sambil meluruskan punggung yang mulai lelah.

Renaldi, dengan iPad di tangan, mengecek kalender Mew. "Anda ada meeting dengan perusahaan Ghossan Group, Pak," jawabnya sambil menatap layar.

Mew mengernyitkan alis. "Ghossan?" tanyanya, merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Nama itu tidak asing, seolah terhubung dengan sesuatu dari masa lalu yang ingin ia lupakan.

"Iya, Pak," jawab Renaldi, dengan nada tenang. "Perusahaan yang dipimpin oleh Pak Mile. Ada yang salah?"

Mew terdiam sejenak, berusaha mengingat lebih jauh. Mile. Nama itu memicu ingatan yang lama terkubur. Namun, Mew menepisnya dengan cepat, enggan membiarkan pikiran itu mengganggu fokusnya. "Ah, tidak. Suruh supir siapkan mobilnya."

"Baik, Pak. Meetingnya di Café Kendari. Saya dan asisten Pak Mile sudah berdiskusi, dan kami telah memesan ruangan privat untuk pertemuan tersebut," jelas Renaldi.

Mew hanya mengangguk, menutup berkas di depannya dengan satu gerakan cepat. Dia meraih ponselnya yang ada di meja, melihat sekilas layarnya, namun memilih untuk langsung menyimpannya di saku jas tanpa membuka pesan atau notifikasi yang masuk. Ia tahu betul bahwa pekerjaan masih menantinya, namun ada sesuatu yang membuat dadanya berdebar tidak nyaman.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang