57

167 20 7
                                    

Ton mengepalkan tangannya, menahan rasa marah yang perlahan mendidih di dadanya. Langkahnya semakin berat, seolah-olah setiap ejekan yang dilemparkan padanya menambah beban yang tak terlihat di pundaknya. Koridor sekolah yang dulu terasa familiar kini seperti medan tempur yang sunyi namun penuh serangan tajam. Semua bisikan, semua tawa mengejek, semuanya terasa seperti duri yang menusuk tanpa ampun.

"Talay udah keluar, jangan sampai ketemu dia, nanti malah digebukin lagi," kata salah satu suara, terdengar samar di antara gemuruh langkah kaki murid-murid yang lalu lalang.

Ton hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Kata-kata itu seperti rekaman yang terus berulang di kepalanya. Setiap bisikan tentang dirinya, tentang apa yang terjadi, membuatnya semakin menjauh dari orang-orang di sekitarnya. Dia tidak peduli lagi—atau setidaknya mencoba untuk tidak peduli.

Langkahnya terhenti sejenak saat mata cokelatnya tertuju pada satu sudut lapangan sekolah. Di sana, di bawah pohon besar yang biasanya menjadi tempat favorit siswa untuk bersantai, dia melihat Talay. Duduk dengan Yoon, tertawa seakan tidak pernah ada masalah di antara mereka.

Ton merasakan dadanya mengencang, seolah udara tiba-tiba sulit untuk dihirup. Hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tidak bisa ia kendalikan—campuran antara amarah, rasa sakit, dan kecewa yang mendalam.

'Kenapa harus dia?' pikirnya. Talay, yang semua orang anggap sebagai korban, sekarang duduk santai, tertawa bersama Yoon, orang yang Ton harap ada di sisinya.

Senyum sinis Talay terlihat dari kejauhan, menambah perasaan panas di kepala Ton. Talay menoleh, menyadari tatapan Ton, lalu mengangkat sebelah alisnya seakan berkata, 'Lihat siapa yang menang.'

Ton cepat-cepat membuang pandangannya, menelan semua rasa sakit itu dalam diam. Dia tahu jika dia tetap di sana lebih lama, amarahnya bisa lepas kendali. Namun, bayangan Yoon yang tersenyum dengan Talay tetap menghantuinya, membuat semuanya semakin sulit.

Tanpa sadar, langkah Ton mengarah ke gerbang sekolah. Dia tidak bisa bertahan di sana lebih lama, tidak dengan semua tatapan, bisikan, dan pemandangan yang menyakitkan itu.

Setelah Ton pergi, Yoon segera berdiri dari duduknya, mencoba mengakhiri percakapan dengan Talay. Udara siang itu terasa semakin panas, dan Yoon hanya ingin menjauh.

"Makasih," katanya singkat, sambil mengalihkan pandangannya dan melangkah ingin pergi.

Namun, tangan Talay dengan cepat meraih pergelangan tangannya, menghentikan langkahnya. Cengkeramannya tidak kasar, tapi cukup untuk membuat Yoon berhenti dan memutar tubuhnya kembali menghadap Talay.

"Gak ada yang gratis di dunia ini, Yoon," ujar Talay dengan nada rendah dan tenang, senyum tipis terlukis di wajahnya yang penuh kepuasan.

Yoon mendengus kesal, menarik tangannya lepas dari genggaman Talay. "Apa yang lo mau?"

Talay menatap Yoon dengan mata yang berbinar licik. "Balikan sama gue," jawabnya dengan penuh keyakinan, seolah-olah itu hal yang paling masuk akal di dunia.

Yoon langsung mengerutkan kening, rasa marah dan jijik memancar dari tatapannya. "Di mimpi!" balasnya tajam, suaranya menahan emosi yang hampir meledak.

Talay terkekeh pelan, seakan tidak terpengaruh oleh penolakan Yoon. "Lo tau kan, tanpa gue, sandiwara lo bisa berantakan kapan aja? Siapa lagi yang mau bantu lo dalam situasi ini?"

Yoon mengepalkan tangannya di samping tubuhnya, menahan diri untuk tidak melepaskan amarahnya di tempat itu. Ia tahu bahwa Talay punya poin yang tidak bisa diabaikan. Jika bukan karena rencananya sendiri, Yoon tidak akan pernah mendekati Talay lagi, apalagi memintanya jadi partner dalam kebohongan ini. Tapi sekarang, Talay memegang kendali—dan Yoon benci fakta itu.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang