Ton menendang batu kerikil dengan perlahan, perasaan panas merembes dari dalam hatinya. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia merasa seakan seluruh dunianya runtuh ketika melihat Yoon bersama Talay. "Sialan! Jahat banget lo, Yoon. Udah mainin gue, sekarang malah balikan lagi sama Talay. Bangsat banget lo!" kata Ton dengan kemarahan yang membakar.
Hatinya bergetar keras, tak mampu mengatasi sakit yang mengalir. Dia memikirkan bayangan Yoon yang pernah tertawa untuknya—sebuah kenangan yang kini terasa seperti sebuah penipuan besar. Kenangan itu semakin menyakitkan ketika diimbangi dengan kata-kata Yoon yang menusuk hati.
Ton memilih untuk duduk di trotoar, dengan tatapan kosong menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Asap kendaraan yang terbang mengarah ke wajahnya terasa seperti penyapu yang membersihkan jejak-jejak kesedihan dan kemarahan di wajahnya. Namun, tidak ada yang bisa menghapus perasaan yang membakar di dalam dadanya.
Panas mentari siang itu terasa tidak sebanding dengan panas hati yang dia rasakan. Setiap tetes keringat yang menetes dari dahinya terasa seperti tambahan beban emosional yang harus dia tanggung. Dia membenamkan wajahnya dalam telapak tangan, merasakan betapa perihnya rasa sakit ini.
Ton merasakan gelombang emosi yang mengombang-ambingkan dirinya—kemarahan, sakit hati, dan kebingungan. Kenangan indah bersama Yoon yang kini berubah menjadi luka dalam hidupnya seolah menari-nari di pikirannya. Setiap kali dia menutup mata, dia melihat kembali momen-momen bahagia itu, dan setiap kali dia membuka mata, dia harus menghadapi kenyataan pahit yang menyakitkan.
Di tengah hiruk-pikuk kota yang tidak peduli dengan kesedihannya, Ton berusaha menenangkan dirinya. Dia ingin berteriak, melemparkan semua rasa sakitnya ke udara, tetapi dia hanya duduk diam di sana, merasa seolah dunia terus bergerak maju tanpa memperhatikan betapa beratnya beban yang harus dia tanggung.
“Ton.” Suara berat memanggilnya. Ton mendongak dan melihat Off berdiri di dekatnya dengan setelan jas yang rapi. Off menatapnya dengan ekspresi bingung.
“Kamu ngapain di sini? Gak sekolah?” tanya Off dengan nada khawatir.
Ton menggeleng pelan, berdiri sambil mengusap debu dari celananya. “Saya bolos, Om. Lagi butuh healing.”
Off mengernyit, memandang Ton dengan skeptis. “Healing di depan jalan raya? Miskin kamu?”
“Eh, sembarangan! Ga, Om, cuman saya emang mau sendirian di sini aja,” jawab Ton dengan nada frustrasi, meski di bibirnya tersungging senyum kecil.
Off tertawa ringan, terlihat lebih santai setelah mendengar jawaban Ton. “Gimana kalau ikut saya ke mall aja? Kita ganti baju, terus kita ke pantai.”
Ton melirik Off dengan tatapan heran. “Om serius?”
“Dua rius malahan,” kata Off sambil mengedipkan mata, berusaha membujuk.
Ton meringis, sambil mencoba menggali makna dari tawaran tersebut. “Om gak bakal culik saya, kan?”
Off menggeleng sambil tertawa. “Culik? Saya gak minat sama kamu, cungkring gini apa yang mau diambil.”
“Aih, sakit hati saya, Om!” Ton menjawab dengan nada bercanda, walaupun rasa sakit hatinya masih terasa.
“Kamu mau ikut atau tidak?” tanya Off, tetap dengan nada serius namun ramah.
“Mau!” jawab Ton dengan semangat, merasa tawaran itu adalah kesempatan untuk merubah suasana hati.
Percakapan keduanya berakhir dengan kesepakatan. Ton mengikuti Off yang membukakan pintu mobil untuknya. Mereka memasuki mobil dengan suasana hati yang sedikit lebih ringan.
Di dalam mobil, Off menghidupkan mesin dan menyetir dengan santai. “Jadi, apa yang bikin kamu bolos sekolah? Ada masalah atau cuma butuh waktu sendiri?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang berbeda
Teen Fiction⚠️banyak typo dan nama yang salah, belum di revisi⚠️ Cerita ini bukan hanya tentang rasa sakit yang dirasakan Ton, tapi juga tentang perjalanan setiap karakter yang terlibat di dalamnya. Setiap tokoh menyimpan luka dan rahasia mereka sendiri, masing...