68

131 17 0
                                    

Ruang itu gelap dan pengap, hawa sumpek menyelimuti setiap sudut, seolah tak ada lagi napas yang bebas di sana. Debu-debu beterbangan di udara, jatuh melapisi lantai yang dingin. Dari pelafon yang retak, tetesan air berjatuhan perlahan, menambah kesan suram dan muram pada tempat itu.

Dinding-dindingnya kusam, catnya telah mengelupas, menyisakan bercak-bercak waktu yang tak tersentuh. Dari celah-celah yang retak, tumbuh rumput-rumput liar, menjulur seakan-akan mencoba mencari cahaya. Namun, tak ada yang peduli pada ruang ini, biarlah ia terlantar dalam kesendiriannya.

Di tengah ruangan itu, seorang remaja terikat pada kursi kayu yang goyah. Tubuhnya lunglai, tertidur dalam mimpi-mimpi kelam yang tak dia sadari.

Off dan Zee duduk di hadapannya, menanti kesadaran yang akan segera datang. Off berdiri perlahan, langkahnya menggema lembut di lantai yang dingin, hingga ia mendekati tubuh lemah itu. Tangan Off terulur, jemarinya menyentuh pipi Ton yang pucat. Ada kelembutan dalam gerakan itu, namun senyuman di bibirnya menyeruak dengan kengerian yang sulit dijelaskan.

"Anak manis, sayang sekali hidupmu tinggal menghitung waktu," ucap Off dengan suara yang menyeret waktu, seolah-olah setiap kata menari di udara. Tawanya kemudian pecah, menggema seperti gema kesunyian yang lama terpendam, mengisi ruangan itu dengan suara yang mengerikan, tawa yang seakan-akan menertawakan seluruh takdir dunia.

Di saat itu, waktu seolah membeku, terjebak dalam ruang yang penuh bayangan dan rahasia.

Di sebuah mansion megah, suasana terasa tegang. Pawat duduk di depan laptop, matanya fokus menatap layar yang penuh dengan kode-kode rahasia. Di sampingnya, Dew berdiri dengan tangan terlipat, memberikan instruksi dengan suara rendah, setiap kata terdengar seperti bisikan angin di malam yang sunyi. Mereka sedang berusaha mengurai misteri yang tersembunyi di ponsel milik Zee, mencoba meretas lapisan demi lapisan perlindungan yang seakan tak berujung.

Keringat dingin membasahi pelipis Pawat. Tangan-tangannya bergerak cepat di atas keyboard, namun kerutan di dahinya semakin dalam. Sesekali, ia mengangkat kepala, menatap Dew dengan tatapan yang penuh rasa putus asa.

"Kayanya kita gak bisa terus nunggu ini," gumamnya, suaranya bergetar di antara keheningan ruangan. Ia menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan, mencoba meredakan debaran cemas di dadanya. Di depan mereka, berdiri ayahnya bersama Mile, Tay dan Apo.

"Jadi, apa yang harus kita lakuin sekarang?" tanya Mile, suaranya terdengar seperti denting lembut yang memecah kebisuan.

"Ikutin Oma," jawab Pawat tanpa ragu, tatapannya beralih ke arah Mew, menantang ketidakpastian yang menggantung di udara.

Mew menatap anaknya dalam-dalam, mencari kepastian di balik mata yang dipenuhi tekad. "Kamu yakin?" tanyanya, suaranya serak mengandung ketakutan yang ia coba sembunyikan.

Pawat mengangguk mantap, bibirnya mengulas senyum samar yang lebih mirip bayangan di malam pekat. "Yakin. Oma ada di mansion, Ayah dan Om Tay bisa langsung ke sana untuk ngawasin oma," jelas Pawat dengan nada yang seakan menggantung di udara, mengundang pertanyaan yang belum terjawab.

Mile menelan ludah, kekhawatiran tampak jelas di wajahnya yang biasanya tenang. "Kenapa Mami?" tanyanya, suara itu hampir tak terdengar.

Mew menarik napas dalam-dalam, kata-katanya terasa berat saat ia mengucapkannya, seolah setiap hurufnya membawa beban bertahun-tahun. "Karena Mami terlibat dalam semua ini. Dia membenci Ton... karena Ton bukan cucunya yang sesungguhnya," ucapnya lirih, matanya menerawang, seperti terjebak di antara masa lalu yang pedih dan kenyataan yang pahit.

Kata-kata itu membuat Mile dan Tay terperangah, kaget dan tak percaya. Mereka mengingat betapa hangatnya kasih sayang yang dulu Kamila berikan pada Ton, tapi kini semua itu berubah menjadi kebencian yang dingin. Seolah cinta yang dulu menghangatkan, kini menjadi es yang membekukan.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang