73

134 16 3
                                    

Pawat mengerutkan kening, merenggangkan otot yang terasa kaku. Sudah dua hari ia berada di rumah sakit, tak pernah pulang, bahkan sekadar untuk mandi atau mencari udara segar. Ia memilih mengikuti sekolah secara daring, meminta keringanan pada pihak sekolah. Ia ingin tetap dekat, seolah takut kehilangan satu detik pun dari waktu yang ia habiskan di dekat keluarganya.

Sementara itu, Win dan Oma mereka bolak-balik pulang, menjemput kebutuhan yang tertinggal. Zee, Mile, dan Tay juga sering berkunjung, bahkan terkadang menginap untuk menemani mereka. Kehadiran sahabat-sahabat itu sedikit mengurangi sunyi di antara dinginnya rumah sakit. Mew, ayahnya, sudah mulai membaik, begitu pula dengan Gulf, sang papah. Mereka masih menjalani masa pemulihan.

Dua hari belakangan ini, mereka sering menanyakan kabar Ton, menunggu dengan harap cemas. Namun, Pawat hanya berani mengatakan bahwa Ton sedang koma, tanpa menyebutkan kondisi yang sebenarnya. Ia sudah meminta dokter untuk merahasiakan semuanya, setidaknya sampai kondisi Mew dan Gulf cukup stabil untuk menerima kenyataan yang pahit.

Pawat menghela napas kasar, lelah melanda namun pikirannya terus berputar tanpa henti. Di ruangan ayahnya, kini sudah ramai dengan kehadiran ketiga sahabatnya. Namun, Pawat memilih melangkah keluar, berusaha mencari ketenangan di udara luar. Tetapi entah bagaimana, kakinya justru membawanya ke depan ruang ICU, tempat Ton terbaring.

Ia menatap tubuh kakaknya yang tak berdaya, dikelilingi oleh berbagai alat medis yang tampak seperti benang-benang tipis yang menggantungkan hidup. Tubuh Pawat gemetar, senyumnya tersungging pahit di bibirnya, namun matanya menyiratkan luka yang tak bisa disembunyikan.

"Bang, maafin gue. Gue belum bisa kasih tau mereka soal keadaan lo," gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam di antara deru mesin-mesin yang monoton. Pawat menempelkan telapak tangannya di kaca yang memisahkan mereka, seolah berharap sentuhan itu mampu menyampaikan semua kegelisahannya. "Gue bingung, bang. Gue takut buat jelasin semuanya. Gue takut kalau mereka tau lu sebenernya mati otak... Bang, gue harus apa?"

Air matanya mengalir, jatuh satu per satu membasahi pipinya yang pucat. Ia ingin berteriak, ingin memberitahu Mew dan Gulf tentang kondisi Ton yang semakin buruk, tetapi kata-kata itu tertahan, tercekat di tenggorokannya. Ia merasa keadaan memaksanya untuk bungkam.

"Pawat!"

Pawat tersentak. Ia menoleh dan matanya bertemu dengan tatapan Tay yang menyala-nyala. Napasnya tercekat, seolah menahan beban yang berat.

"Mati otak? Kenapa kamu gak bilang, Pawat?" Tay bertanya, suaranya penuh dengan nada yang tak bisa dipahami antara marah, kecewa, dan khawatir.

"Om..." lirih Pawat, tubuhnya mulai gemetar di bawah tatapan Tay. "Bukan aku gak mau bilang, Om. Tapi aku takut... Aku takut Ayah sama Papah drop lagi kalau tau keadaan Ton kayak gini. Mereka baru aja pulih, Om... Aku bingung harus ngomong gimana."

Tay menghela napas panjang, namun di matanya ada keteguhan yang tak bisa digoyahkan. Tanpa peringatan, ia meraih lengan Pawat dengan tegas, menariknya menuju ruangan tempat Mew dan Gulf berada. Pawat tak sempat melawan, hanya bisa mengikutinya dengan langkah terseret, seolah dunia mengabur di sekitarnya.

"Om, jangan... Aku belum siap," bisik Pawat, air matanya kembali mengalir, penuh ketakutan yang nyata.

Tay menggeleng, menatap Pawat dengan pandangan yang penuh ketegasan. "Keadaan Ton bukan main-main, Pawat. Ayah dan Papah kamu berhak tau. Mereka harus siap, sesakit apa pun itu buat mereka."

Pawat menunduk, merasakan tubuhnya lemas. Ia tahu Tay benar, namun rasanya ia belum sanggup mengucapkan kalimat yang bisa mematahkan hati kedua orang yang ia cintai. Namun, kali ini tak ada lagi tempat untuk bersembunyi, tak ada lagi alasan untuk menunda kebenaran yang harus dihadapi.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang