60

166 14 7
                                    

Aku gak up berapa hari? Yaudah aku panjangin, 5485 kata.

____

Ton hanya diam, membiarkan pandangannya menelusuri jalan yang semakin penuh sesak oleh klakson bersahutan, sementara lampu-lampu jalan mulai menyala, menandai datangnya malam. Jingga yang masih tersisa di langit seolah menjadi sisa-sisa ketenangan di tengah riuh kota yang tak pernah lelah. Di sampingnya, sang ayah terlihat tak terganggu. Tatapannya lurus, menyatu dengan arus lalu lintas yang kian padat. Di balik ketenangan itu, pikirannya bergemuruh. Tentang rahasia-rahasia yang ia simpan rapat. Tentang apa yang akan terjadi jika semuanya terungkap. Tentang perintah sang ibu yang selalu memaksa dirinya untuk menyiksa anaknya sendiri.

Desah napas kasar lolos dari bibir Mew, menandakan ada beban berat yang tengah ditahannya. Matanya fokus pada lampu merah di ujung persimpangan. Redup, nyaris kabur dari pandangannya, seolah mewakili kebingungannya akan arah hidup.

“Kamu bolos?” Suara Mew memecah keheningan, nada bicaranya datar, tapi mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar pertanyaan biasa.

Ton menoleh sekilas, lalu kembali memandang pejalan kaki yang tampak bergegas. “Iya.” Jawabnya singkat, seolah tak gentar dengan ancaman hukuman yang selalu mengikutinya.

“Kenapa?” Kali ini nada suara Mew sedikit berubah, menuntut penjelasan, sesuatu yang jarang keluar dari bibirnya.

Ton kaget, tak percaya Mew bertanya padanya. Biasanya, Mew tak peduli pada alasannya. Penjelasan baginya hanya serupa angin lalu, tak pernah benar-benar didengar. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ton bisa merasakan kehadiran ayahnya yang entah sejak kapan terasa begitu jauh.

Mew menoleh, alisnya terangkat penuh tanya, tapi di balik itu, ia sadar betapa terkejutnya Ton. Sejak kapan mereka terpisah sejauh ini? Sejak kapan jarak menjadi tembok yang tak terlihat namun kokoh di antara mereka?

“Kenapa?” Mew bertanya lagi, kali ini lebih lembut, seperti ada usaha untuk memahami.

Ton menelan ludah, memilih untuk menjawab tanpa banyak berpikir. “Gak mood sekolah aja.”

“Kalau gak mood, mending di rumah daripada keluar sama Off. Kamu tahu kan siapa dia? Sudah ayah bilang, jangan ngeyel.” Nada bicara Mew kembali berubah, lebih tegas, seperti ingin menarik kendali yang selama ini terlepas.

Ton tertunduk, bibirnya terkunci. Dia tahu Off bukan seperti yang ayahnya pikirkan. Off itu donatur di panti tempat nya selalu berkunjung.

"Lain kali jangan dekat-dekat dengan dia. Bahaya!" Suara Mew menghentak, membuat Ton menoleh dengan tatapan yang tak mau menyerah.

“Om Off baik,” jawab Ton, kali ini suaranya terdengar penuh keyakinan.

Mew menarik napas panjang, menatap anaknya dengan tatapan yang sulit dijabarkan. "Hidup itu harus penuh kewaspadaan, Ton. Jangan karena kamu di-treat baik, kamu langsung menyimpulkan dia baik. Kadang, yang jahat tak selamanya jahat, dan yang baik tak selamanya baik. Kamu paham?"

Ton mengangguk pelan, tapi jauh di dalam dirinya, hatinya masih bertanya-tanya. Kebaikan dan kejahatan, bagi Ton, tak pernah sesederhana itu.

Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kota Jakarta di luar jendela perlahan beringsut dari terang menuju gelap, cahaya lampu-lampu jalan menari di atas aspal yang semakin padat, seakan menandai waktu yang terus berlari tanpa henti. Mobil Mew melaju membelah kota, mengantar keheningan di antara mereka. Tak ada lagi percakapan, hanya desing mesin yang terdengar seperti gumaman samar di antara gedung-gedung tinggi yang membisu.

Perjalanan panjang itu terasa tak berujung, seolah waktu melambat saat pikiran mereka menjauh, berputar dalam benak masing-masing. Akhirnya, mobil Mew berbelok dan memasuki sebuah mansion besar yang berdiri angkuh di tengah keremangan. Bangunan itu terlihat megah namun dingin, seakan tak menyisakan kehangatan bagi siapa pun yang tinggal di dalamnya.

Luka Yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang