BAB XLII - Rumah Tak Selalu Menjadi Tempat Pulang -

9.7K 1K 120
                                    

Halo semuanya terimakasih🤗 sudah mampir ke cerita ini.Sebagai penulis baru mohon dukungan dan sarannya.👏👏👏🫶🫶🫶

Selamat membaca💛🧡❤️, dan jangan ragu untuk memberikan umpan balik. Dukungan kalian sangat berarti untuk pemula seperti saya.

🚨Disarankan untuk memutar Vidio lagu diatas atau memutar lagu yang kalian rasa cocok supaya lebih bisa meresapi suasana cerita🚨

🚧Saran untuk yang tidak bisa memutar video YouTube musik diatas :saat pertama kali masuk langsung scroll ke bawah langsung,diusahain yang cepet,setelah loading kedengeran suaranya baru scroll ke atas lagi tapi jangan sampai ngelewati judul,baru baca🚧

**Terima kasih,Salam Pena**

❤️😙😁😆❤️

*******∆*******

🚨Warning Long chapter 🚨

Saat menunggu kereta tiba di stasiun, Daisy duduk di bangku panjang di peron, matanya menatap ke depan, tetapi pikirannya melayang jauh. Hiruk pikuk stasiun di sekitarnya seakan hilang begitu saja, tenggelam dalam pusaran lamunan yang mendalam. Orang-orang berlalu-lalang, petugas dengan seragam biru lalu putih terlihat sibuk membantu penumpang, dan sesekali suara mesin dari loket otomatis terdengar berderit. Tapi semua itu tak mengganggu pikirannya yang semakin tenggelam ke dalam kegelapan.

Sesekali, pemberitahuan otomatis terdengar dari speaker stasiun, menggema di antara deretan penumpang yang menunggu, "Kereta Argo Parahyangan tujuan Ahir Jember segera tiba di peron dua. Harap berhati-hati dan perhatikan barang bawaan Anda." Suara monoton itu, yang biasanya tidak menarik perhatian, seakan memecah keheningan di kepala Daisy, mengembalikannya sesaat ke realita.

Dari kejauhan, suara deru kereta mulai terdengar, samar-samar di antara gemuruh percakapan para penumpang. Getaran mulai terasa di tanah, menandakan kereta yang mendekat. Daisy menghela napas dalam-dalam, lalu berdiri perlahan, merapikan koper dan tas ranselnya sebelum memasuki kereta yang melambat di depan matanya.

Dengan langkah yang sedikit berat, Daisy melangkah ke dalam gerbong dan mencari nomor tempat duduknya. Gerbong itu tidak terlalu penuh, namun tetap ramai. Setelah menemukan kursinya, dia segera duduk dan memasang headset, berharap musik bisa membantunya melarikan diri dari semua pikiran yang memenuhi kepalanya. Suara musik mulai mengalun di telinganya, menutupi suara ribut para penumpang, tetapi tidak cukup kuat untuk menghilangkan kegelisahan di dadanya.

Kereta mulai bergerak perlahan, suara gemuruh roda besi bergesekan dengan rel menyusuri sepanjang perjalanan, menggema di seluruh gerbong. Suara itu konstan, ritmik, seolah menjadi latar belakang dari lamunan yang tak pernah berhenti. Daisy menatap keluar jendela, melihat pemandangan yang seharusnya terasa akrab, namun kini tampak asing. Ladang-ladang hijau, deretan rumah-rumah kecil, dan sesekali deretan gedung-gedung tinggi yang menghiasi horizon. Tapi semuanya hanya menjadi latar belakang dari kekosongan yang dia rasakan.

Sudah lama sekali Daisy tidak melakukan perjalanan panjang seperti ini. Terakhir kali dia pulang ke rumah, rasanya seperti seabad yang lalu. Namun sekarang, perjalanan sepuluh jam di dalam kereta ini terasa lebih sepi dari yang dia bayangkan. Waktu seakan berhenti. Tidak ada hal menarik yang terjadi, meski di sekitarnya ada banyak suara dan gerakan. Di kursi dekatnya, sepasang suami istri sedang berusaha menenangkan anak balita mereka yang menangis keras. Suara tangisan yang biasanya memecah perhatian, kali ini tidak menyentuh kesadarannya. Daisy terlalu larut dalam pikirannya sendiri.

The Story ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang