BAB XLIII - Penyesalan Selalu Datang Terlambat -

8.6K 1K 136
                                    

Halo semuanya terimakasih🤗 sudah mampir ke cerita ini.Sebagai penulis baru mohon dukungan dan sarannya.👏👏👏🫶🫶🫶

Selamat membaca💛🧡❤️, dan jangan ragu untuk memberikan umpan balik. Dukungan kalian sangat berarti untuk pemula seperti saya.

🚨Disarankan untuk memutar Vidio lagu diatas atau memutar lagu yang kalian rasa cocok supaya lebih bisa meresapi suasana cerita🚨

🚧Saran untuk yang tidak bisa memutar video YouTube musik diatas :saat pertama kali masuk langsung scroll ke bawah langsung,diusahain yang cepet,setelah loading kedengeran suaranya baru scroll ke atas lagi tapi jangan sampai ngelewati judul,baru baca🚧

**Terima kasih,Salam Pena**

❤️😙😁😆❤️

*******∆*******

Pagi itu, hari Minggu yang cerah di rumah keluarga Nara tampak berjalan seperti biasa. Pak Bima, ayah Nara, duduk santai di ruang tamu dengan segelas teh di tangannya, matanya fokus pada acara olahraga yang sedang tayang di televisi. Sinar matahari mulai meninggi, menembus tirai jendela, memancarkan kehangatan di seluruh ruangan.

Sementara itu, Bu Diah, istrinya, mondar-mandir dengan ponsel di tangan. Wajahnya penuh kekhawatiran. Ia berkali-kali mencoba menghubungi Nara, anak keduanya, tetapi tak ada jawaban. Setiap kali panggilannya tak dijawab, rasa khawatir di hatinya semakin membesar.

"Handphone Nara kenapa gak aktif terus ya? Ibu telfon kok gak bisa?Ada apa ya? Ibu kok punya firasat buruk," ucap Bu Diah, menghentikan langkahnya di depan suaminya.

Pak Bima hanya menghela napas. Ia melirik sekilas ke arah istrinya, lalu kembali menatap televisi. "Sudahlah, nggak usah terlalu khawatir. Nara sudah besar, dia bisa menjaga dirinya sendiri."

Meski suaranya terdengar tenang, Pak Bima melanjutkan dengan nada kesal, "Tapi memang anak itu makin kurang ajar. Pergi tanpa pamit, tidak menghormati orang tua. Dari mana dia dapat pengaruh buruk itu?"

Bu Diah hanya terdiam, tak mampu menjawab kekesalan suaminya.

Tak lama kemudian, Lia, anak sulung mereka, turun dari kamarnya dan duduk di sebelah ayahnya. Ia menatap ibunya yang masih mondar-mandir dengan wajah cemas.

"Buk, nggak usah terlalu khawatir. Nara pasti kasih kabar kalau dia sudah nggak marah lagi. Dia sudah dewasa kok," ucap Lia, berusaha menenangkan.

Namun, Bu Diah masih terlihat cemas.Lalu Lia kakanya kembali berkata,"Aneh ya, belakangan ini Nara jadi lebih sensitif. Padahal dulu dia pendiam dan penurut."

Pak Bima, yang terus memindah-mindahkan saluran televisi, menyela, "Mungkin dia terpengaruh teman-temannya."

Tiba-tiba, Anna, anak bungsu mereka, muncul dari kamar dengan rambut acak-acakan dan mata masih setengah terpejam. Ia berjalan pelan menghampiri ibunya dan memeluknya dari belakang. "Selamat pagi, Buk. Kenapa ribut sih pagi-pagi begini? Aku jadi nggak bisa tidur," keluh Anna dengan suara manja.

Bu Diah tersenyum lembut dan mengecup kening anak bungsunya. "Kakakmu Nara pergi pagi-pagi tanpa pamit. Ibu jadi khawatir."

Mendengar itu, Anna tersentak kaget. Ia langsung berlari kecil menuju kamar kakaknya, Nara. Ketika melihat kamar itu kosong, ia kembali dengan wajah cemas. "Kak Nara benar-benar sudah pergi?"

Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di atas meja. "Eh, ini ada surat dari Kak Nara!"

Anna dengan cepat menyerahkan surat itu kepada ibunya. Bu Diah membacanya cepat, tapi isinya hanya pesan singkat, tak seperti biasanya.

The Story ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang