Part 26

966 49 2
                                    

Melody memandang keluar jendela. Hari ini dia tidak terlalu sibuk. Semua laporan sudah diselesaikan sejak tadi. Dia hanya mengecek berkas saja. Ditatapnya kendaraan yang melintas dijalan dengan pandangan nanar. Setelah beberapa lama hanya berdiri saja, Melody melangkah menuju telepon kantor dan menekan nomor telepon

Gadis bertubuh mungil itu hanya perlu menunggu beberapa saat agar teleponnya tersambung. Melody menelepon dengan wajah serius. Akhirnya Melody menutup teleponnya dan membereskan tas kerjanya. Hari ini dia membuat janji disebuah restoran. Dilihatnya Elaine, sekretarisnya sedang mengetik.

"Elaine." Panggil Melody.

"Iya Mbak." Sahut Elaine.

"Saya pulang dulu. Tolong kamu handle ya. Kalau ada apa-apa telepon saya." Ujar Melody.

"Iya Mbak. Saya mengerti."

Melody tersenyum lalu pergi meninggalkan kantornya. Dia menuju mobilnya dan menatap jam yang melingkari tangannya. Masih ada waktu. Ujar Melody. Gadis cantik itu segera menyalakan mobilnya dan meninggalkan kantornya.

***

Suasana kampus ramai oleh para mahasiswi. Mereka mengobrol sambil saling memainkan tongkat yang mereka anggap senjata. Disudut lain, ada yang sedang berkelahi. Entah itu pertengkaran besar atau hanya pertengkaran kecil yang diawali dengan masalah kecil.

Disebuah taman, yang sepi dekat kampus, terlihat seseorang sedang duduk sambil menengadahkan kepalanya ke arah langit. Orang itu memakai kaos merah dibalut kemeja hitam, sepatu sport hitam dan celana jeans hitam. Tangan orang itu masih dibebat dengan gips putih keras.

Ya, orang itu adalah Nobi. Dia sekarang selalu sendirian. Sinka sudah menghindarinya sejak Sinka marah padanya tanpa alasan yang jelas. Dihembuskannya napasnya dengan berat. Ditatapnya tangannya yang masih terbungkus gips. Biasanya Sinka yang membantunya makan atau mengurusnya dirumahnya.

Selama beberapa hari, memang Sinka masih berada dirumahnya untuk tinggal dengannya. Tapi sejak 2 hari lalu, dia sudah kembali ke rumah Ayahnya. Sejak Kakaknya meninggal, Ibunya memutuskan untuk pulang ke rumahnya dikampung. Sesekali saja Sinka menjenguk Ibunya.

Nobi mengambil obat penahan rasa sakit dari saku bajunya. Ditelannya obat itu tanpa didorong air. Tangannya yang belum sembuh total dipakainya melakukan aktivitas berat. Akhirnya tangannya harus kembali diobati lagi karena ada beberapa tempat yang kembali patah.

Frieska yang melihat Nobi duduk sendirian dibangku taman mengernyitkan dahi heran. Dia langsung menghampiri Nobi yang memejamkan matanya. Nobi membuka matanya saat merasakan sinar matahari yang menyengatnya tiba-tiba tidak ada. Dilihatnya Frieska yang sedang menatapnya. Nobi langsung menegakkan tubuhnya dan Frieska duduk disamping Nobi.

"Kamu lagi apa? Kok sendirian?" Tanya Frieska.

"Aku Cuma mau merasakan sinar matahari." Sahut Nobi datar.

"Bagaimana tanganmu?" Tanya Frieska lagi.

"Masih perlu digips. Ada beberapa tempat yang patah parah. Jadi perlu waktu."

"Dimana Sinka?"

Nobi terdiam. Lalu menggelengkan kepalanya. Frieska menatap reaksi Nobi saat mendengar nama Sinka. Ada ekspresi sedih dan rindu yang ditunjukkan Nobi. Gadis bertubuh besar itu hanya diam mengerti apa situasi yang terjadi. Akhirnya mereka mengobrol hingga jam kuliah Frieska tiba.

"Sudah waktunya kelas. Kamu gak keberatan aku kembali?" Tanya Frieska.

"Iya. Aku masih mau disini. Nanti kamu terlambat." Sahut Nobi.

"Temui aku kalau sempat."

Nobi mengangguk. Frieska kembali ke kelas. Saat sedang berjalan, dia melihat Natalia berjalan menuju taman. Frieska menatap wanita berambut panjang itu yang terus berjalan. Akhirnya Frieska mengikuti Nat yang ternyata menghampiri Nobi. Dia melihat mereka dari kejauhan tapi Frieska masih bisa mendengar pembicaraan mereka.

Perlindungan, Peperangan, Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang