Part 41

922 54 10
                                    

"Naomi?" Kata Frieska tidak percaya.

Sinka (Naomi) mengangguk. "Aku datang untuk membantumu Fries."

"Berhentilah menangis. Kamu mau aku tertawakan saat aku kesana lagi." Lanjutnya.

"Sama sekali gak."

"Ayo kita hajar mereka."

Akhirnya mereka bertarung bersama. Semua yang menyerang mereka dapat diatasi dengan mudah. Walaupun wajahnya memar sedikit, Naomi yang masuk ke tubuh Sinka tetap menghajar mereka dengan kekuatan penuh.

Frieska merasa dia kembali seperti dia saat masih SMA dulu. Berkelahi berdua bersama Naomi. Saling menyerang, saling melindungi dan menhobati luka masing-masing. Dia tidak ingat lagi sudah berapa kali mereka berkelahi karena sangat sering mereka lakukan.

Setelah saling bertukar pukulan, Sinka menatapnya dan Frieska juga berdiri dihadapannya. Frieska bukan melihat Sinka dihadapannya sekarang. Tapi Naomi yang memakai baju Sinka. Rambutnya masih berwarna coklat. Matanya yang tajam dan raut wajahnya yang judes semakin nyata dilihatnya.

Naomi menaruh tangannya dibahu Frieska sambil tersenyum. Frieska menahan air matanya sekuat tenaga. Naomi langsung memeluknya erat. Gadis bertubuh besar itu langsung sesenggukan dibahunya. Akhirnya dia bisa bertemu sahabatnya walaupun mereka sekarang sudah berbeda dunia. Naomi melepaskan pelukannya dan menatap mata Frieska yang sembab.

"Jangan ragu-ragu lagi. Aku gak suka itu." Ujar Naomi tegas.

"Aku hanya gak mau mengingkari janji kita Mi." Balas Frieska.

"Kamu punya alasan kan? Jadi kamu gak ngelanggar janji kita." Bantah Naomi.

"Maafin aku."

"Pergilah kesana. Aku akan membantu kalian."

"Apa kita bisa bertemu lagi?"

"Kita pasti akan bertemu lagi. Hanya waktu yang mampu menjawabnya."

Frieska tersenyum lalu menghapus air matanya.

"Cepat pergi. Musuh masih banyak disana." Perintah Naomi

"Iya Mi." Kata Frieska lalu berlari.

Rachel menghajar tanpa ampun. Tongkatnya terpental entah kemana. Vanka juga ikut menghajar mereka dengan kepalanya. Darah sudah membasahi baju putih yang Rachel kenakan. Vanka dan Rachel mulai menempelkan punggung masing-masing.

Keadaan Vanka juga tidak jauh berbeda dengan Rachel. Sudut bibirnya sobek dan lebam menghiasi wajahnya yang bulat. Vanka melihat ke arah musuh yang mengelilingi mereka sambil memegang senjata. Rachel tersenyum dengan matanya yang kosong.

"Mungkin ini bukan saatnya kita sedih." Ujar Rachel.

"Apa maksud kamu?" Tanya Vanka heran.

"Dari perang ini, aku baru ingat dengan satu hal. Memang bagi sebagian orang gak penting. Tapi ini sangat berharga." Rachel masih bicara.

Vanka yang bingung mulai merasakan ujung matanya panas. Sedangkan Rachel sudah menangis tapi dia menahan isaknya yang ingin segera keluar.

"Apa yang sebenarnya mau kamu omongin Chel?" Kata Vanka pedih.

"Terima kasih untuk semuanya Thacil. Aku gak akan lupa dengan persahabatan dan kebersamaan kita. Jangan lupakan aku kalau aku gak bisa bertahan disini." Kata Rachel sambil menghapus air matanya.

"Rachel, kenapa kamu bilang begitu?"

Tanpa menjawab, Rachel langsung menyerang mereka. Vanka merasakan ujung matanya mulai dibanjiri air mata. Sudah lama dia tidak mendengar Rachel memanggilnya Thacil. Itu adalah julukan sayang dari Rachel untuk Vanka. Ayana yang mendengarnya hanya bisa diam sambil ikut menangis. Dia tahu bagaimana kebersamaan mereka dari cerita Rachel. Dan dia merasa beruntung bisa bersahabat dengan mereka berdua.

Perlindungan, Peperangan, Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang