Chapter 33

235K 11.6K 46
                                    

Tap

Tap

Tap

Mereka menahan nafas sedangkan Tasha tak kalah pucat dari mereka. Dirinya luar biasa gugup.

Tasha menggigit bibir dan meremas kotak bekal yang dipegangnya sedari tadi.

Tiba-tiba yang ditunggu kini sudah berdiri di ujung sana. Pemuda tampan itu berkerut kening melihat gerombolan Tasha cs.

Devan melihat ke arah jam tangannya dengan raut yang datar seketika.

"Kenapa kalian masih disini? Jamnya siapa? Kalian bolos pasti" ujar Devan sakartis.

Tatapanya mengarah ke Arga dengan menyelidik.

Sedangkan Arga seketika mengerti inilah Sang Ketua Osis.

'Cukup mengintimidasi memang tetapi posturnya kenapa familier ya' batin Arga masih mengamati sosok Devan.

"Kenapa masih disini. Sekarang juga Bubar." Ujar Devan tajam.

Diko yang sudah gemetar tampak langsung berdiri dan berlari kecil keluar diikuti Dinda yang berdiri dengan perlahan ia menoleh ke arah Tasha yang menunduk sedari tadi. Ia memutuskan mengambil alih bekal di tangan Tasha sekalian menyeret Tasha untuk berdiri. Akan tetapi Tasha terlihat tidak mau.

Dinda menghela nafas setelah itu memutuskan untuk meninggalkan perpustakaan.

"Kenapa kalian berdua nggak mau pergi? Di perpustakaan dilarang pacaran" ujar Devan singkat dan dingin.

Arga berdiri dan hendak menyentuh tangan Tasha untuk mengajaknya pergi juga.

"Nama loe Arga kan? Kelas loe beda sama Natasha. Silahkan pergi sendiri sendiri. Kalo barengan bukan malah ke kelas tapi bisa-bisa mojok berduaan" ucap Devan yang sepertinya tampak tidak mau menatap ke arah Tasha sedikitpun.

Tasha semakin menunduk, ia ingin menangis melihat Devan seperti ini. Nada yang diucapkannya seakan menyakitkanya.

Arga mendengus dan berdecak kemudian melengos pergi.

Sekarang tinggalah Devan dan Tasha.

"Nggak mau pergi? Nggak dengar gue tadi ngomong apa?" Ucap Devan dingin.

Tasha meremas tangannya yang mulai berkeringat dingin. Matanya berkaca-kaca.

"Masih nggak mau pergi?"

Tasha menggeleng.

Devan memejamkan mata frustasi.

"Terserahlah"

Devan berjalan mendekati rak di depannya dan meletakkan beberapa novel sesuai urutan.

Tiba-tiba Tasha berdiri tetapi masih tetap menunduk.

Devan melihat itu semua dari ekor matanya. Namun tetap diam.

"Makasih" ujar Tasha tiba-tiba dengan nada bergetar.

Devan hanya berdeham ia sudah tahu maksud Tasha berterimakasih.

Tasha meremas remas roknya kalut.

Devan yang sudah selesai meletakkan beberapa novel pun hendak pergi tapi segera ditahan oleh Tasha yang sekarang tengah memegang tangannya.

Tangan dinginnya mengenggam jemari hangat Devan.

Devan berhenti seketika. Tetapi tetap tidak berbalik badan.

"Kamu kenapa sih, iio. Hikz" ujar Tasha tiba-tiba terisak.

Devan menegang.

Ini lah kelemahannya yaitu suara tangisan gadisnya.

Ia hanya ingin Tasha menyadari kesalahannya dan lebih bersikap dewasa dalam menghadapi masalah.

Devan melepaskan genggaman tangan Tasha perlahan kemudian berjalan meninggalkan Tasha yang semakin terisak.

Tasha terduduk dan menutup wajahnya tanda tangisannya semakin deras. Isakannya terdengar namun suara tangisannya pelan bahkan hampir tidak terdengar.

'Dia pergi. Iio pergi. Hikz'

Tidak, nyatanya tidak begitu. Devan tidaklah pergi.

Di balik rak di belakang Tasha, Devan bersandar dan menutup matanya lelah. Mencoba mendengarkan setiap suara tangisan merdu gadis kecilnya, gadisnya, mataharinya dan segalanya baginya.

Apa ia terlalu pengecut?

Mungkin iya. Ia menyesal meninggalkan gadisnya tadi. Hanya karena ia tidak ingin membuat keributan macam-macam di sini.

Isakan gadisnya masih terdengar dan itu semakin melemahkannya.

----

Setelah lama lelah menangis kini Tasha mencoba berdiri kemudian memilih menuju kelasnya.

Di perjalanan Tasha menunduk tidak ingin memperlihatkan mata sembabnya.

Jauh dibelakang Tasha berjalan. Devan mengikutinya dan menatap sendu punggung Tasha yang semakin menjauh.

---

Jam Pulang

Tasha masih duduk bersandar di bangkunya. Sedangkan teman-temannya sudah berbondong-bondong ingin keluar dan pulang.

Ia menunggu Dinda yang izin ke toilet.
Tak lama, munculah Dinda yang kini memasuki ruang kelas.

Tasha mengerutkan kening ketika melihat Dinda membawa-bawa kertas.
Dinda meletakkan kertas itu di depan Tasha.

"Apa ini Din?" Tanya Dinda.

" umm. Tadi gue ketemu Devan, katanya mau nitipin ini ke Loe"

Tasha pun melihat kertas-kertas itu dengan sendu.

Dinda yang selama ini mengikuti perkembangan hubungan mereka, selalu dibuat kagum.

Betapa luar biasa sayangnya Devan ke Tasha yang tidak peka dan sangat manja.

Dan begitu pun sebaliknya betapa luar biasanya perasaan Tasha untuk Devan, bahkan tanpa sadar Tasha telah bergantung kepada Devan.

Dinda memandang Tasha penuh maksud.

Seperti mengerti tatapan Dinda, Tasha pun berkerut kening.

"Devan juga ngasih ini ke loe"

Dinda mengeluarkan benda yang disembunyikannya sedari tadi.

Bunga.

Saat Devan menitipkan bunga ini tadi, dari rautnya terlihat sama sedihnya dengan Tasha tapi Devan mampu menyembunyikannya.

Tasha mengambil bunga itu, tepatnya bunga mawar. Setalah itu ia membelai kelopak mawar merah dengan lembut.
"Oh iya Devan juga bilang, nanti dia nggak bisa nemenin kamu belajar. Dia juga bilang 'jangan lupa belajar ya' "

Tasha tampak kecewa kemudian menghela nafas.

TBC

Hoaam.

Ini sebenernya mau dijadiin lanjutan chapter tadi tapi karena tadi fokus nntn motogp jadi dipisah.

Thanks for REVOMENT😍

BACKSTREET !!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang