Bintang terdiam sejenak setelah pandangannya merekam seorang perempuan memeluk Adrian untuk beberapa detik. Detik berikutnya Bintang meninggalkan Adrian dan perempuan itu kemudian berlalu ke ruang tengah. Bintang mengambil tasnya dalam gerakan cepat dan berjalan keluar, dan masih menemukan pandangan yang membuatnya perasaannya memburuk.
Saat langkah Bintang mendekati pintu, di saat itu pula perempuan itu melepaskan pelukannya.
Adrian menoleh ke belakang dan menemukan Bintang sudah menyandang tasnya.
"Bee, kamu mau pergi?"
Bintang berjalan mendekati Adrian sembari tersenyum.
"Aku harus pergi Ryan, ada..." Bintang berhenti sejenak untuk memikirkan alasan. "Ada tante aku mau datang."
Adrian mengernyitkan dahinya. "Tante?"
Bintang menatap Adrian, meyakinkan lelaki itu. "Look, Ryan. I really have to go."
Wajah Adrian tampak lesu. "Tapi, Bee." Pandangannya kembali beralih pada seseorang. "Oh iya, kamu belum kenalan sama—"
Bintang menyentuh lengan Adrian, menahan lelaki itu. "Aku harus pergi sekarang. You can talk to me later."
Adrian mengecup kening Bintang untuk beberapa detik. Pandangannya kembali jatuh pada mata Bintang. "Okay. I'll see you tomorrow."
Bintang tersenyum kecil. Ia merasa sedih melihat ekspresi Adrian saat itu. Lalu pandangan Bintang bertemu dengan perempuan itu.
Tampak perempuan itu membenci apa yang Adrian lakukan pada Bintang.
Hingga langkah Bintang meninggalkan apartemen Adrian, ia menahan air matanya.
***
"Jadi, kenapa lo bisa di Brisbane hari ini, Vi?" tanya Adrian pada perempuan yang merupakan sahabat terbaiknya yang bernama Vivi.
Vivi meneguk habis airnya sebelum menjawab Adrian. "Well, mulai besok gue akan memulai perkuliahan gue di UQ."
Adrian menganga, ia tidak percaya jawaban Vivi. "Lo ninggalin Collarts demi UQ?" Collarts merupakan salah satu sekolah musik terbaik di Melbourne. Adrian pernah mencoba untuk masuk di sana, tetapi ia tidak berhasil.
"Bukan demi UQ. Demi bisa ketemu sahabat gue. Apa guna kuliah di tempat bagus kalau gue gak nyaman."
"Tapi kan—"
"Lo khawatir sama karier gue nantinya? Come on, Adrian. Papa kita sama-sama pianis ternama, orang-orang bakal berpikir permainan kita juga sebagus beliau. Lagian, orang-orang di sana terlalu bagus untuk gue ajak berduet. Gue gak pernah nyaman sama orang lain kalau duet."
"Dan lo sekarang udah pindah total dari Melbourne ke Brisbane?"
"Gitu deh. Gue..." Vivi mulai bercerita kendala dan bagaimana proses ia pindah dari Melbourne ke Brisbane. Di pertengahan cerita Vivi melirik ke Adrian, namun lelaki itu bukannya fokus padanya, melainkan sibuk dengan ponselnya.
"Lo dengar gue gak, sih?" protes Vivi.
Adrian mengadah kepala dan menemukan Vivi tengah menatapnya kesal. "Sori. Gue tadi kirim Bintang pesan aja. Oke, lanjut."
Vivi sudah merasa tidak tertarik untuk berbicara tentang kepindahannya. "Jadi, cewek tadi pacar lo? Orang Indonesia? Wait—ini baru beberapa bulan lo di sini dan lo udah punya pacar?" Vivi bertanya demikian karena ia tahu Adrian seperti apa. Lelaki itu tidak mudah suka pada seseorang.
Adrian mengangguk. "Iya. Cantik, kan? Dan lo tahu kenapa secepat itu gue jadi sama dia?"
"Tentu! Itu pertanyaan besar dari tadi berputar di otak gue."
Adrian menghela napas dalam, karena ia akan bercerita sesuatu yang penting.
"Jadi...Bintang itu adalah." Adrian terdiam karena ia tidak bisa menahan senyumnya.
"Apa sih, Adrian. Lo cerita dulu baru gila sendiri. Gue penasaran nih."
Adrian menegakkan posisi duduknya. "Bintang itu cinta pertama gue dulu, lo ingat, kan?"
Mata Vivi membelalak saat mendengar Adrian berbicara demikian.
Tentu saja, ia mengingat sosok perempuan bernama Bintang itu. Setiap harinya Adrian menyelipkan nama Bintang setiap kali mereka bersama.
Tidak heran mengapa Vivi begitu familiar dengan rupa Bintang. Tidak heran mengapa tatapannya tidak suka saat menatap Bintang.
Vivi memaksa senyumnya. "Jadi, gimana? Kalian kilas balik cinta pertama, dong?"
Senyum Adrian memudar seketika. "Dia...gak ingat gue."
Harusnya saat itu Vivi sedih dengan cerita Adrian. Tetapi, rasa egoisnya mengalahkan rasa iba. Tiba-tiba ia ingat dengan keuntungan yang akan ia dapatkan dalam waktu cepat.
Senyum licik itu muncul beberapa detik, lalu senyum Vivi berubah menjadi rasa iba yang ia buat-buat.
Ada cerita dibalik sikap Vivi.
Vivi menyimpan cerita antara Adrian dan Bintang.
Bukan hanya itu.
Vivi menyimpan sesuatu yang sangat berharga buatnya.
Perasaannya terhadap Adrian, merupakan hal yang begitu berharga, karena demi Adrian, mimpi terbesarnya dengan mudah ia lepas.
Vivi cinta Adrian. Dengan sangat.
>�z>�y�

KAMU SEDANG MEMBACA
Brisbane: Runaway
RomanceJarak belasan ribu kilometer dari orang-orang tercinta, ia berharap bisa bersembunyi. Dari masa lalu, luka, dan cinta. Namun nyatanya, semua itu harus ia temukan lagi pada suatu tempat, suatu sudut West Brisbane. Ini kisah mereka dengan tujuan be...