A Little Story About Him

2.9K 303 11
                                    

Buat yang sering kehilangan part sebelumnya, itu bukan hilang melainkan private mode. Yang mau baca private mode, must follow me first. Tadinya mau aku publish tanpa private mode, cuma lupa, jadi maaf :(

Btw, happy reading :)

***

"Jadi kamu seniornya Bastian, ya?" tanya Fery sebelum menyantap makan siang.

Siang itu Ferry makan siang bersama Bintang dan Bastian sebelum ia pulang ke Jakarta. Mereka memilih tempat makan siang tidak jauh dari Bandara Udara Brisbane.

"Iya, om. Saya memang masuk UQ setahun sebelum Bastian. Tetapi saya dan Bastian seumuran kok," jelas Bintang.

"Oh, seperti itu." Pandangan Ferry beralih dari Bintang lalu ke Bastian. "Kalian seumuran, tetapi Bastian terlihat lebih tua, ya?"

Bastian yang mendengar kalimat tersebut menoleh ke Ferry. "Anak sendiri dikatain."

Bintang hanya terkekeh saat mendengar ucapan Ferry. Lalu ia menoleh dan kedua tangannya berpindah ke wajah Bastian dan mendorong wajah lelaki itu agar menghadapnya.

"Iya loh, Bas. Lo emang terlihat lebih tua kalau gue lihat," ucap Bintang sesekali tertawa.

"Lo tuh yang terpengaruh omongan bokap gue. Tua apanya? Kita seumuran juga."

Tangan Bintang masih di wajah Bastian. "Unch. Ngambek, ya?" Sesekali Bintang mencubit pipi Bastian.

Bastian kemudian menjauhkan tangan Bintang dari wajahnya, tetapi tidak melepaskan tangan Bintang. Detik berikut Bastian membalas lelucon Bintang.

Ferry sedari tadi hanya menatap ke arah Bastian dan Bintang. Ada perasaan senang melihat Bintang dan Bastian, tetapi ada pula rasa iri.

"Are you guys sure that you're not dating right now?" tanya Ferry membuat Bastian dan Bintang menoleh.

"Kita...temenan aja kok, Yah," ucap Bastian sedikit ragu.

Bintang lalu mengiyakan ucapan Bastian. "Kita temanan dan tetanggaan aja kok, Om."

"Kalian selalu mengelak tetapi sikap kalian bertolak belakang dengan ucapan kalian." Ferry berhenti sejenak untuk minum. "Melihat kalian berdua itu Om jadi ingat sama tante Tessa, mamanya Bastian."

"Emang cerita Om sama tante Tessa seperti apa?" tanya Bintang penasaran.

Pertanyaan yang dilontarkan Bintang mengundang senyum di wajah Ferry. Karenanya, pertanyaan itu membuat Ferry kilas balik bagaimana ia bertemu dengan Tessa. Tidak ada yang Ferry lewatkan, semua memori tentang dirinya dan istri ia ceritakan. Cerita yang dilontarkan mengundang senyum baik di wajah Bintang maupun Bastian.

"Terus, tante kenapa gak ikut sama Om ke sini?" tanya Bintang polos. Ia bertanya sebelum Ferry menyelesaikan ceritanya.

"Sebenarnya Om belum selesai cerita, Bintang." Ferry menghela napas. "Tessa, istri Om dan juga ibu dari Bastian, sudah meninggalkan kami beberapa tahun yang lalu."

Senyum di wajah Bintang pun hilang. Pandangannya melihat Bastian dan Ferry secara bergantian.

"Maaf om, saya gak tahu."

Ferry tersenyum hangat. "Kenapa minta maaf? Semuanya sudah berlalu. Lagian kamu gak salah. Om yang terima kasih, karena pertanyaan mu membuat Om kembali mengingat ibu Bastian. Mungkin sampainya di Indonesia, om bakal mampir ke pusara istri om itu. Udah lama banget gak ke sana."

Bintang tersenyum lega setelah mendengar ucapan Ferry. Lalu ia menoleh ke Bastian yang melanjutkan makanannya.

"Bas, sori ya. Gue gak tahu."

Bastian menghabiskan makanan dengan semangat tanpa ia sadari sedikit saus menempel di sudut bibirnya.

"Bodo ah. Gue sedih nih gara-gara lo," ucap Bastian dengan bercanda.

Bintang pun menyerang Bastian dengan mencubit lengan lelaki itu.

"Gak usah lebay, deh."

Bastian pun mengaduh kesakitan yang ia buat-buat. "Sakit tau, Bintang!"

Bukannya berhenti, Bintang semakin semangat menyerang Bastian.

"Bodo amat!"

"Sakit, Bintang." Bastian kemudian menoleh ke Ferry dengan wajah memelas. "Yah, ada yang jahat sama Bastian."

"Bintang," panggil Ferry membuat Bintang menoleh ke arahnya. "Kamu...boleh aja kok menyiksa Bastian, karena Om mengerti bagaimana jengkelnya kamu sama sifat Bastian yang seperti tadi."

Tetapi Bintang tidak melanjutkan serangannya ke Bastian melainkan tertawa.

Sedangkan Bastian hanya melihat ayahnya tidak percaya.

Belum sempat Bastian berbicara dengan ayahnya, Bintang kembali menaruh jemarinya di dagu Bastian. Tampak Bastian memicingkan mata terlihat tidak siap jika saja Bintang kembali menyerangnya.

Saat itu Bintang bukannya ingin kembali menyerang Bastian, tetapi ia ingin menyeka saus yang masih menempel di wajah Bastian.

"Kenapa tutup mata gitu sih, Bas. Gue mau bersihin saus ini." Bintang menyeka saus berwarna merah itu. "Makan kok kayak anak kecil."

Saat mereka selesai makan siang, saat itu pula panggilan untuk penerbangan menuju Jakarta disiarkan.

Dengan cepat mereka keluar dari kafe dan mendekati pintu keberangkatan.

Bastian dan Bintang menyalami Ferry dengan bergantian.

"Semoga selamat sampai tujuan, Om," ucap Bintang setelah menyalami Ferry.

Bastian berikutnya memeluk ayahnya itu. "Hati-hati, Yah. Kalau udah sampai di Jakarta kabari. Terus, kalau ayah jadi ke pusara ibu, Bastian titip salam sekaligus doa, Yah."

Ferry melepaskan diri dari Bastian. "Pasti ayah sampaikan." Lalu ia menoleh ke Bintang. "Bintang, Om titip anak ini, ya."

Bintang mengamit lengan Bastian lalu tangannya yang bebas membentuk hormat pada Ferry. "Siap, Om!"

Mereka saling melambaikan tangan setelah Ferry memasuki pintu keberangkatan.

Setelah itu, Bintang mengalihkan fokusnya pada Bastian yang terlihat lesu.

"Baru aja ditinggal satu menit sama Om Ferry, udah lesu aja!" goda Bintang membuat Bastian menoleh ke arahnya.

"Mulai deh, Bintang. Biasanya sih gue yang rese, sekarang gantian gitu, ya?"

"Thanked to you, gue bisa rese juga."

Tangan Bintang yang dari tadi sembunyi di balik baju hangatnya pun berpindah ke bahu Bintang.

Dirangkulnya perempuan itu dari samping. "Siapa lagi kalau bukan gue," ucap Bastian dengan bangga.

Bintang yang berjalan di samping Bastian hanya tertawa mendengar ucapan lelaki itu.

"What ever you say, Bastian."

Brisbane: RunawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang