Bintang keluar dari kelas dengan langkah lamban. Saat itu ia sudah siap untuk pulang ke apartemen, namun langkahnya terhenti saat ponselnya bergetar dua kali.
Bintang mendapat layar ponselnya dengan nomor yang tidak ia kenal, mengirimnya sebuah pesan.
+61 789xxxxx : Hey Bintang. Ini gue, Vivi. Bisa ketemu siang ini, gak? Kalau bisa ketemu di Subway aja. Kabari gue ya kalau lo bisa.
Sebenarnya Bintang malas bertemu dengan Vivi, tetapi rasa penasaran Bintang mengalahkan rasa malasnya. Bintang pun membalas Vivi dengan singkat bahwa ia setuju bertemu dengan Vivi siang itu di Subway.
Bintang membelokkan langkahnya menuju Subway. Saat ia langkahnya mendekati Subway, Bintang menemukan Vivi tengah duduk di sudut ruangan itu.
Tanpa memesan apapun karena ia malas berbicara lama dengan Vivi. Bintang duduk di seberang Vivi lalu memulai obrolan. "By the way, ada apa ya lo mau ketemu sama gue?"
Vivi meneguk minumannya lalu memandang Bintang. "Gue mau berbicara sesuatu. Penting."
"Oke, cerita aja," jawab Bintang singkat.
Vivi memajukan badannya lalu melipat tangannya di meja. Tampak perempuan itu mulai serius. "Sebenarnya gue gak tahu harus mulai dari mana." Vivi berhenti sejenak lalu tersenyum. "Long time no see, Bee."
Tampak ekspresi bingung mencuat di wajah Bintang. "Makusd lo?"
"Well, kalau lo menyangka gue ikutan Adrian dengan panggil lo begitu, lo salah sangka. Kalau long time no see, yah emang long time no see aja," ucap Vivi lalu kembali tersenyum sinis.
Bintang kembali memandang Vivi sejenak. Seolah ia memang pernah melihat wajah Vivi, entah kapan dan di mana.
Raut wajah bingung Bintang membuat senang Vivi. Ia menertawakan Bintang di pikirannya.
"Kenapa? Lo bingung, ya? Atau lo lagi mengingat sesuatu yang hilang dari otak lo?"
Saat itu Bintang mengerti arah pembicaraan Vivi. "Lo...tahu tentang ingatan gue...dari mana?"
Vivi semakin bahagia, ia pun tertawa beberapa detik. "Gimana gue gak tahu, Bee. Karena, hari di saat lo jatuh itu, gue lihat siapa yang dorong lo."
"Siapa?"
Kedua bola mata Vivi berputar, perempuan itu bertingkah seolah ia tengah berpikir. "Siapa ya..." Matanya menatap tangan dengan jari bercat warna merah. Tangan kirinya maju hampir mengenai wajah Bintang. "Nih. Dia yang dorong. Say hello, dong."
Bintang tidak membalas lelucon mengerikan Vivi. Detik berikut kepalanya terasa berdenyut. Karena saat itu otaknya langsung bekerja setelah satu potongan ingatannya kembali.
Untuk beberapa saat, Bintang merasa kilas balik.
***
Jakarta, 5 tahun yang lalu.
Setelah pamit dengan Aini, dengan langkah yang begitu semangat Bintang melanjutkan perjalanannya untuk mengikuti hari pertama All Star Summer Camp. Saat ia memasuki rumah besar yang berisi banyak orang, tidak sengaja pandangannya menangkap sosok yang ia kenal, Adrian.
Begitu pula Adrian, saat tatapannya bertemu dengan Bintang, langkahnya mendekati perempuan itu.
"Bee, lo lulus juga?"
"Iya, gue tahunya belakangan hari makanya gak bisa kasih kabar."
Senyum tak meninggalkan wajah Adrian. "Setiap sekolah masing-masing punya dua wakil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brisbane: Runaway
Roman d'amourJarak belasan ribu kilometer dari orang-orang tercinta, ia berharap bisa bersembunyi. Dari masa lalu, luka, dan cinta. Namun nyatanya, semua itu harus ia temukan lagi pada suatu tempat, suatu sudut West Brisbane. Ini kisah mereka dengan tujuan be...