Seperti biasa, ekspresi datar Bintang selalu menyambut setiap kali Bastian menampakkan dirinya. Namun, Bintang tidak bisa menahan senyum saat Bastian mengangkat plastik dengan label restoran Cina yang disukainya.
Bintang tersenyum lalu mempersilakan Bastian masuk. "Come in."
Bastian mengikuti Bintang dan megambil tempat di sebelah Bintang. Namun, detik berikutnya Bastian kembali bangkit.
"Gue ambil mangkuk dulu ya."
Baru saja Bintang akan mencegah Bastian, tetapi Bastian sudah terlebih dahulu melanjutkan langkahnya. Bintang menunggu Bastian dengan diam.
Begitu pun saat mereka melahap makanan mereka masing-masing. Tidak ada satupun bersuara.
Bastian menghabisi makanannya terlebih dahulu. Pandangannya melihat Bintang tengah makan dengan lahap, walaupun tidak secepatnya.
"Enak banget sih makannya," goda Bastian membuat Bintang berhenti melanjutkan makannya beberapa saat.
Hingga Bintang selesai dengan makanannya, di saat itu pula ia tertarik untuk membalas pembicaraan Bastian.
"Tadi gue emang lagi mau makan bubur. Kebetulan juga lo bawain gue bubur ayam."
Seulas senyum hadir di wajah Bastian. "Bukan kebetulan sih sebenarnya."
Kalimat Bastian mengundang kerutan di wajah Bintang. "Maksud lo?"
Bastian menegakkan posisi duduknya. "Jadi, tadi pagi sebelum berangkat ngampus gue ke apartemen lo. Tapi jangan pikir yang aneh dulu. Gue Cuma mau lihat keadaan lo aja, soalnya semalam lo down banget. Tadi pagi aja gue ketemu lo ketiduran di sofa."
Ucapan Bastian membuat Bintang tidak bertanya mengapa dengan ajaibnya ia tadi pagi terbangun di kasurnya.
"Lo tahu kode akses apartemen gue?"
"Lo sendiri yang kasih tau gue kalau lo gak pernah ubah kode aksesnya. Emang, apa lagi alasan malam itu salah masuk apartemen."
Bintang menggeleng. Tidak ingin mengingat kejadian itu. "Terus, apa lagi cerita lo?"
"Gue gak tega dong lihat lo ketiduran di sana. Jadi gue angkat lo deh ke kamar, dan gak saat gue angkat lo itu tangan gue rasa ada yang panas gitu loh. Ternyata badan lo emang panas. Makanya gue ke sini tadi bawa bubur."
Setiap perkataan Bastian terasa masuk akal bagi Bintang.
"Sebenarnya gue merasa bersalah sih tahu lo demam pagi tadi," lanjut Bastian kembali membuat Bintang mengernyitkan dahi.
"Maksud lo, Bastian?"
"Sebenarnya semalam itu gue demam gitu. Makanya gue lari, berharap udara malam bisa menghilangkan panas badan gue. Yang ada semalam kita pelukkan, dan gue merasa panas badan gue pindah ke elo. Makanya gue bersalah."
Bintang tertawa renyah. "Lo percaya sama yang begituan? Kalau demam terus peluk orang panas badannya bakal berpindah? Ada-ada aja deh!"
Bastian ikut tertawa setelah mendengar Bintang. "Ya, gimana lagi. Gue yang merasa begitu."
Bintang dan Bastian mengisi waktu mereka dengan obrolan ringan. Sesekali Bastian melemparkan lelucon yang dibalas oleh tawa Bintang. Sesekali mereka berbagi bercerita tentang kegiatan kampus.
"Eh iya, ngomong-ngomong soal kampus, latihan tadi gimana?" Bintang yang bersuara.
"Baik-baik aja, kok. Emang kenapa?"
Bintang memutar bola matanya. Tampak ia sedikit kesal. "Tadi si David minta-minta gue buat datang. Padahal kemarin semuanya udah gue arahkan. Tau deh, si David emang rese, harusnya gue ngerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brisbane: Runaway
RomanceJarak belasan ribu kilometer dari orang-orang tercinta, ia berharap bisa bersembunyi. Dari masa lalu, luka, dan cinta. Namun nyatanya, semua itu harus ia temukan lagi pada suatu tempat, suatu sudut West Brisbane. Ini kisah mereka dengan tujuan be...