BAB 14 Menjumpai Tokoh Sakti

1.8K 41 0
                                    

Di bawah jalan setapak itu terdapat jurang yang sangat dalam dan diselimuti kabut tebal, sedemikian tebalnya kabut sehingga sukar untuk mengira berapa dalam­jurang tadi, yang terdengar hanya deruan angin yang menggidikkan hati.

Jalan setapak itu pastilah terbuat dari alam yang dibenahi sana sini dengan tenaga manusia, namun lebarnya cuma tiga depa. orang yang belum pernah mengunjungi tempat semacam ini bisa dipastikan hatinya bakal bergidik dibuatnya.

Demikian pula yang dirasakan oleh ketiga orang jagoan tersebut Tak urung timbul juga perasaan ngeri dalam hatinya.

Han-gwat berjalan- lebih dulu di depan, Setelah melalui belasan kaki jauhnya, tiba-tiba ia berhenti sambil berpesan: "Bila nanti sampai terjadi pertarungan, maka kalian mesti berhati-hati, jalan setapak ini begitu sempit dan cuma mampu menampung satu orang saja... apakah kalian sudah ada persiapan?"

Han si-kong berdua tidak menjawab, mereka sendiri pun tak tahu apa yang mesti diperbuatnya.

setelah mendaki bukit itu setinggi seratus kaki, tiba­tiba selat sempit itu berbelok ke arah kanan.

Pada saat itulah terdengar seseorang menegur dengan suara yang dingin dan tanpa perasaan:

"siapa Berhenti"

Waktu itu mereka bertiga mendekati tikungan tersebut, Han-gwat berjalan di paling muka, Han si-kong berada di tengah sedangkan Lim Han-kim berjalan dipaling belakang, sewaktu mendengar suara teguran yang dingin itu, serentak mereka bertiga menghentikan langkah-nya.

Ketika mengalihkan perhatiannya ke depan, tampak di tengah jalan setapak itu berdiri seorang manusia berbaju serba hitam yang memegang pedang di tangannya.

orang itu berperawakan tinggi ceking, sepasang jidatnya agak melesak ke depan, wajahnya dingin dan kaku tapi amat serius. Buru-buru Han-gwat bungkukkan badan memberi hormat sambil menyapa: "Paman, masih ingat dengan aku Han-gwat?"

Lelaki berwajah dingin kaku itu tidak langsung menanggapi pertanyaan gadis itu, Dengan sinar matanya yang tajam bagaikan pisau belati dia awasi wajah Han si­kong dan Lim Han-kim berulang kali, kemudian baru katanya dengan suara kaku: "setiap orang yang pernah berjumpa denganku, selama hidup aku tak akan melupakannya lagi."

"Paman masih ingat dengan aku Han-gwat berarti kau masih percaya dengan ku, bukan? Nah, kedua orang ini adalah sahabat karib majikan tua kami yang khusus datang berkunjung karena ada urusan penting, Aku berharap paman bersedia memberi peluang dengan membiarkan kami melewati tempat ini."

Lelaki setengah umur berwajah dingin itu benar-benar berhati kaku tanpa perasaan, ternyata ia bersikap dingin terhadap permintaan Han-gwat itu. Tolaknya mentah­mentah:

"Tidak bisa"

Melihat kekakuan orang itu, dengan kening berkerut Han si-kong membatin di hati:

" Kekakuan orang ini betul- betul jarang dijumpai di kolong langit, bahkan berbicara pun nampaknya segan."

Pada saat itu Han-gwat telah mengerutkan dahinya siap meradang, tapi akhirnya ia berhasil mengendalikan gejolak emosi-nya, Dengan suara yang tetap lembut ia kembali meminta: "Kedua orang ini harus berjumpa dengan majikanku secepatnya, Paman. Berilah kesempatan mereka untuk lewat"

"Baik, kuberi dua jalan untuk kalian pilih. Pertama, minta kedua orang rekanmu menunggu di bawah bukit, agar majikan kalian menjumpai mereka di sana"

Mendongkol sekali perasaan Han si-kong mendengar perkataan itu, tanpa terasa serunya: "Lalu apakah jalan kedua itu?"

"Jalan kedua lebih sederhana lagi. Ka-lian bertiga boleh turun tangan bersama, Asal aku dapat dirobohkan, kalian pun bisa menembusi pertahananku dengan bebas."

Pedang Keadilan ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang