BAB 10 Antara Mati dan Hidup

1.2K 37 2
                                    

Lik-ling menghela napas panjang, kembali ujarnya.

"Usiamu sekarang ibarat sang surya yang baru terbit di ufuk timur, masa depanmu masih panjang dan cemerlang..."

Setelah termenung berpikir sebentar, kembali lanjutnya:

"Berbicara dari kepandaian silat yang kau miliki, sudah pantas bila kau dimasukkan ke dalam deretan jago-jago pilihan dalam dunia persilatan, jadi aku duga gurumu tentu seorang manusia berbakat yang luar biasa."

"Meski gurumu hebat, bukan berarti ia dapat mendidikmu sedemikian lihaynya hanya dalam belasan tahun yang singkat, Bila dugaanku tak salah, kaupasti merupakan keturunan keluarga persilatan kenamaan yang mulai dididik ilmu silat sejak kecil, Nah, dengan kemampuan semacam ini tentunya terlalu sayang bukan jiwa mesti mati dalam usia muda."

Lim Han-kim tertawa dingin.

"Nona,jika ingin mengucapkan sesuatu, lebih balk utarakan terus terang, Aku paling tak suka diajak putar-­putar haluan-"

Lik-ling kembali tersenyum

"Seandainya aku ingin membunuhmu sekarang, hal ini bisa kulakukan dengan mudah sekali, tapi aku pun dapat segera membebaskan borgolan tangan dan rantai di tubuhmu serta membiarkan kau pergi dari sini..."

Dengan langkah yang genit dia berjalan menghampiri anak muda itu, sambil melangkah demikian, ia kembali melanjutkan-

"Memang, kalau bicara menurut adat serta jiwa mudamu, Kau lebih suka mati secara gagah, Tapi... pernahkah kau berpikir, bagaimanakah perasaan ibumu yang mungkin menantikan kepulanganmu? Apa lagi wajahmu tampan, ilmu silatmu hebat, terlalu sayang jika harus mati secara mengerikan..."

Tiba-tiba ia berpaling, dengan biji matanya yang jeli ditatapnya wajah perempuan itu lekat-lekat, kemudian lanjutnya lagi:

"Selama ini aku terkenal kejam dan tidak berbelas kasihan, belum pernah aku tunjukkan sikap welas kasih seperti terhadapmu sekarang, Kau tahu, sudah berapa banyak jago persilatan yang tewas atau terluka di tanganku? siapa saja yang sudah terjatuh ke tanganku, mereka selalu hanya disodorkan dua pilihan. Pertama, mati secara mengerikan dan kedua, bergabung dengan partai Hian- hong- kau kami, Nah, sekarang aku pun ingin tawarkan kedua jalan tersebut kepadamu, silahkan kau memilih sendiri.."

Dia menghela napas panjang, Ianjutnya kemudian­"Tapi aneh benar... aku merasa seperti punya jodoh yang istimewa denganmu.."

Dari dalam sakunya dia keluarkan sebuah lencana emas, sambil tertawa ia ber-tanya:

"Kau kenal dengan pemilik lencana emas ini?"

Memandang lencana emas tersebut, Lim Han-kim segera mengenali benda itu sebagai lencana pemberian Kim Nio-nio.

"Tentu saja kenal" jawabnya agak termangu. "Apa hubunganmu dengannya?"

Dari nada pertanyaan itu bisa disimpulkan ia pun kenal dengan pemilik lencana emas ini. Lama sekali Lim Han­kim termenung, ia tak mampu menjawab pertanyaan tersebut sebagai orang yang jujur dan polos, dia merasa kurang leluasa untuk menjelaskan bahwa Kim Nio-nio telah menganggapnya sebagai adik angkatnya...

sambil menyimpan kembali lencana emas itu Lik-ling berkata lagi sambil ter-tawa:

"Padahal tak usah kau jelaskan pun aku sudah tahu."
"Kau tahu? Tahu apa?"
"Kau tak usah berlagakpilon, Masa kau tak memahami apa yang kumaksudkan itu...?"

Dengan penuh kegusaran Um Han-kim melototkan matanya bulat-bulat, tegurnya: "Kau anggap aku Lim Han-kim manusia macam apa? Hmmmm Aku tak ingin kau ngaco belo."

Lik-ling tertawa cekikikkan.

"Padahal kejadian semacam ini tidak lucu dan aneh, Aku pun tak berniat menanyakan Iebih jauh, Nah, sekarang ada satu persoalan yang jauh Iebih penting, aku harap kau segera mengambil keputusan-"

Pedang Keadilan ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang