BAB 5 Geger di Kuil Awan Hijau

1.6K 44 0
                                    

Lim Han-kim segera bangkit berdiri, memberi hormat dan berlalu dari sana dengan Iangkah lebar, "saudara cilik, tunggu sebentar!"

Tiba-tiba Kim Nio-nio berteriak sambil menghentikan langkahnya, Lim Han-kim berpaling, sambil menyusul datang Kim Nio-nio berkata:

"Walaupun kau tak berminat menganggapku sebagai kakak. namun aku punya maksud menganggapmu sebagai adik, Perduli bagaimana pandanganmu terhadapku yang pasti aku dapat menemukan kembali adikku yang hilang lewat nada suara, wajah serta senyumanmu."

Dari sakunya dia keluarkan sebuah lencana terbuat dari emas, sambil disodorkan ke hadapan pemuda tersebut, tambahnya: "Anggaplah lencana emas ini merupakan tanda mataku untukmu, siapa tahu benda ini akan berguna bagimu di kemudian hari."

Lim Han-kim berpikir sebentar, lalu mengangguk: "Baiklah, akan kuterima pemberian ini"

Tanpa dilihat lagi, is masukkan lencana tersebut ke dalam sakunya, Kim Nio-nio tertawa sedih, serunya:

"Moga-moga Thian dapat mengaturnya kembali waktu perjumpaan kita di kemudian hari, Dan sewaktu kita bertemu lagi nanti, kuharap kau sudah dapat melenyapkan kemurungan yang meliputi wajahmu, Ingatlah, mesti banyak kejadian sedih terdapat di dunia ini, namun masih banyak pula kenangan manis yang bisa dibayangkan kembali, saudara cilik, semoga kau baik­baik menjaga diri dan maaf cici tidak dapat menghantar"

Lim Han-kim menjura beberapa kali dan melangkah ke luar dari ruang perahu dengan Iangkah lebar. Tujuh delapan orang lelaki bersenjata yang berdiri berjajar di geladak serentak membungkukkan badan memberi hormat.

Lim Han-kim menyapu pandang sekejap ke sekeliling tempat itu, lalu tanpa membuang waktu lagi sebera melangkah naik ke daratan,

Waktu itu Yu siau-Iiong sudah menanti di tepi sungai, Begitu melihat Lim Han-kim naik ke darat, is segera lari menyambutnya. Kemudian sambil menghembuskan napas panjang keluhnya: "Huuh, hampir saja membuatku mati karena panik"

Tampak Li Bun-yang sambil mengempit dua batang kayu sepanjang tiga depa sedang memburu datang, Tapi begitu melihat Lim Han-kim telah mendarat dengan selamat, sambil tersenyum is buang kayu-kayu itu ke atas tanah.

Betapa terharunya Lim Han-kim setelah melihat batangan kayu itu, dia tahu Li Bun-yang hendak menggunakan daya apung kedua batang kayu itu untuk mengejar perahu serta berusaha menyelamatkan jiwanya. Tapi sebagai pemuda yang segan banyak cakap. kali ini pun is cuma manggut-manggut sambil tersenyum Dengan suara setengah berbisik Li Bun-yang sebera berkata:

"Tampaknya perahu besar itu adalah istana berjalan di tengah sungai yang sudah kondang namanya dalam dunia persilatan Tak nyana saudara Lim bisa pulang dengan selamat, sungguh membuat aku kagum. Tampaknya pertempuran yang kau alami tadi sangat
sengit dan dahsyat...."

sambil tertawa Lim Han-kim menggeleng berulang kali: "Keliru Mereka tidak memaksa aku untuk bertempur, malah merekalah yang menghantarmu kembali ke sini."

"Aaah, masa begitu?" seru Li Bun-yang keheranan

Belum sempat Lim Han-kim menjawab, mendadak kedengaran suara seorang perempuan berseru: "Tuan muda Lim, apakah kau hendak menyeberang?"

"Sekalipun ingin menyeberang, aku tak berani merepotkan kalian untuk menghantar."

Dari atas perahu besar itu pelan-pelan diturunkan sebuah sampan kecil, kemudian mereka naikkan papan pendarat dan berlayar lagi ke tengah sungai, Hanya dalam waktu singkat perahu besar itu sudah lenyap di kejauhan sana, kecepatannya sungguh luar biasa. sementara sampan kecil yang diturunkan tadi, pelan­pelan meluncur ke tepian.

sampan tersebut didayung oleh dua orang dayang kecil berbaju hijau, samar-samar Lim Han-kim mengenali kembali salah seorang di antaranya sebagai dayang yang membawanya masuk ke ruang dalam untuk menjumpai Kim Nio-nio tadi. Tampak dayang itu menghampiri Lim Han-kim, setelah memberi hormat katanya lembut:

Pedang Keadilan ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang