BAB 16 Majikan Han Gwat Menagih janji

2K 38 2
                                    

"Hah....? pedang usus ikan" pekik Han si-kong begitu menyaksikan bentuk pedang pendek itu.

"Benar," kata kakek berambut putih itu sambil tertawa hambar, "Tampaknya saudara mengerti barang berharga."

Kembali ia menebaskan pedangnya, Borgol ditangan Han si-kong kontan hancur berkeping- keping .

sudah cukup lama mereka berdua mengenakan borgol di tangannya, kini begitu terlepas dari belenggu tak kuasa lagi mereka rentangkan tangannya berulang kali sambil menghembuskan napas lega.

Mendadak Han si-kong teringat kembali dengan kejadian yang barusan berlangsung di mana sepasang manusia aneh dari Thian-lam mendesak Thian-hok sangjin agar memberitahu jejak sepasang mestika itu.

sungguh tak disangka olehnya salah satu di antara dua mustika tersebut yakni pedang usus ikan bisa muncul di pondok Lian-im-lu ini.

Ketika ia mencoba menengok ke arah Thian-hok sangjin, tampak pendeta itu sedang duduk serius sambil mengawasi pepohonan di luar ruangan, tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu.

Dalam pada itu kakek berambut putih itu sudah duduk kembali ke tempatnya semula, setelah membebaskan borgol di tangan ke dua orang itu, kepada Han-gwat katanya:

"Nona pun ikut datang, sana, pergilah ke belakang menengok dia"

Tiba-tiba Thian-hok sangjin menarik kembali pandangan matanya, kepada Han si-kong dan Lim Han­kim katanya: "silahkan duduk"

"Totiang, apakah kau ada petunjuk?" tanya Lim Han­kim cepat.

Thian-hok Sangjin menghela napas panjang.

"Aaaai... pondok Lian-im-lu tak pernah menerima tamu berlama-lama. Kini borgol di tangan kalian sudah diputuskan, apa yang menjadi harapan pun sudah terpenuhi. Aku rasa sudah saatnya bagi kalian untuk pergi meninggalkan tempat ini."

Lim Han-kim memandang kakek berambut putih itu sekejap, lalu ia melompat bangun dan serunya sambil menjura: "Kalau begitu aku mohon diri lebih dulu."

Tanpa membuang waktu dia putar badan dan melangkah keluar,Han Si-kong ikut bangkit berdiri sambil menyambung:

"nama besar totiang sudah puluhan tahun lamanya kukagumi. setelah perjumpaan hari ini ternyata hanya begini saja sikapmu. Meski ilmu silatmu terhitung nomor wahid, - namun aku orang she-Han tak akan menghormati dirimu lagi."

Selesai berkata dengan langkah lebar dia keluar dari rumah gubuk itu untuk menyusul Lim Han-kim.

Mendadak terdengar ujung baju terhembus angin berkumandang lewat, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, Temyata kakek berambut putih itu sudah melampaui Lim Han-kim berdua dan kini menghadang jalan pergi mereka.

Sejak masuk ke dalam ruang tamu itu Han Si-kong telah memperhatikan orang ini, Dia wajahnya amat asing dan belum pernah dijumpai sebelumnya, tapi kalau dilihat hubungannya yang begitu akrab dengan Thian­hok Sangjin, semestinya kakek itu bukan manusia sembarangan Maka ia mundur dua langkah dan menonton jalannya perubahan dengan sangat tenang, Dalam pada itu Lim Han-Kim telah menegur dengan kening berkerut:

"Lo-cianpwee, apa maksudmu menghadang jalan pergiku?"

Setelah diusir oleh Thian-hok Sangjin dengan sikap dingin barusan, pemuda ini sudah merasa naik darah, apalagi menghadapi hadangan tersebut, amarahnya kontan makin meluap.

Kakek berambut putih itu menghela napas panjang:

"Aaaai... selama ini aku selalu dibuat pusing kepala oleh penyakit yang diderita putri kesayanganku, akibatnya rambut yang hitam pun telah berubah memutih hanya dalam berapa tahun saja...."

Pedang Keadilan ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang