MALAM
PENGHARGAANBAGIAN DUA
•••
"Udah gue bilang, gaun yang item tuh gak cocok sama gue." Bulan menggerutu memarahi Alea--penata kostumnya yang kini diam-diam mengumpati Bulan yang bawelnya kebangetan.
"Mbak, kemarin bilang oke-oke aja sama gaun ini. Tinggal dua jam lagi gak sempat nyari gaun lain, mbak." Alea membela diri. Perempuan berambut kribo itu memasang wajah merengut lantas segera keluar dari ruang make up ketika tatapan tajam Bulan menghunusnya.
"Kurang jelas apalagi? Cariin gaun yang lain gak mau tahu."
Bulan memejamkan mata ketika kelopak matanya dibubuhi eye shadow bewarna gelap. Rambutnya sibuk diotak-atik oleh Milo, sang penata rambut profesional yang malam ini sengaja ia sewa.
"Well, rambut lo mau diapain aja udah bagus, say."
"Jelas! Perawatannya aja mahal."
Milo mengangguk. Setelah menyelesaikan pekerjaannya menata rambut Bulan, dia duduk di salah satu kursi kayu sembari membuka majalah fashion. "Pacar lo mana, say?"
"Devin? Aduh iya dia di mana coba. Kok telat sih," dumel Bulan lantas meraih ponsel menghubungi nomor Devin.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada...."
"Kok gak aktif sih?" Bulan sekali lagi menekan tombol panggil. Hasilnya sama. "Milo, pinjem hape lo coba!"
Milo merogoh saku celananya menyodorkan hapenya. Bulan mengetikkan nomor ponsel Devin di hape Milo.
"Sisa pulsa kartu prabayar Anda tidak mencukupi..."
"kismin lo! Pulsa aja gak punya." Milo mendengus merebut kembali hapenya. Dengan gerakan mencibir ia membalas sindiran Bulan, "situ emang ada pulsa?"
"Gak,"jawab Bulan santai sembari menatap kembali riasan wajahnya yang telah rampung. Alea masuk ke dalam ruangan dengan tergopoh-gopoh membawa beberapa setelan gaun. Bulir-bulir keringat sebisi jagung mengalir dari dahinya namun Bulan tak acuh dan langsung menarik setelan gaun-gaunnya. Dahinya mengerut dalam tampak memilah-milah gaun yang cocok.
"Gue pake yang ini." Bulan mengangkat gaun brokat tanp lengan dengan panjang hingga mata kaki, gaun bewarna merah itu tampak kontras dengan kulit putihnya yang lumayan pucat.
"Wasyukurilah,"lega Alea lantas menyeka keringat.
----
Jepretan kamera paparazi di sepanjang red carpet menyambut kaki Bulan yang baru saja menuruni mobil yang mengantarnya hingga lobi. Matanya perlu sedikit menyipit karena merasa silau. Mengumbar senyum manisnya, Bulan melewati red carpet dengan iringan kamera yang menyorotnya dengan berbagai sisi.
Suara hiruk pikuk dan keramaian yang berpusat tepat di belakangnya membuat Bulan menghentikan langkah sejenak. Rasa penasaran membuatnya menoleh ke belakang cepat, apa yang dilihatnya membuat Bulan terdiam mematung. Matanya mengerjap cepat lantas bersipandang dengan Devin yang menggandeng lengan Bela. Keduanya bahkan mengenakan pakaian dengan warna yang sama.
"Anda datang bersama Bela malam ini?"
"Ya. Dia pasangan saya malam ini,"kata Devin dengan pandangan sepenuhnya tak beralih menatap Bulan. Bulan segera kembali menatap ke depan, meski dadanya mendadak terasa sesak, ia melanjutkan langkah dengan senyum lebar yang terkesan dipaksakan.
Brengsek!
Bulan buru-buru mencari kamar mandi, tenggorokannya terasa tercekat samar-samar bahunya mulai bergetar. Sayangnya riasan wajahnya akan rusak jika ia menangis, padahal acara bahkan belum dimulai. Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat Bulan menoleh cepat, Bela tersenyum simpul namun sarat akan penuh ejekan ketika menatap Bulan.
"See? Gue bisa rebut Devin dari lo. Lo sekarang bukan siapa-siapa Devin. Lo ternyata gak cukup berarti buat dia." Bela tertawa pendek, menekuri kuku-kukunya yang dicat merah ia kembali menatap Bulan.
Rahang Bulan mengeras dengan gigi bergemeletuk menahan amarah namun sebisa mungkin dia tahan, "Jangan terlalu bahagia dulu! Gue gak menyerah semudah itu."
Bulan sengaja menabrakkan bahunya di bahu Bela, kakinya sedikit menghentak keluar kamar mandi. Dengan napas memburu tak beraturan, Bulan segera memasuki area ballroom. Langkah kakinya terhenti karena cekalan di lengannya yang terasa erat. "Kita putus!"
Dua kata yang sukses membuat Bulan langsung menoleh ke belakang. Tanpa menghiraukan lagi situasi dan kondisi, ia melayangkan tamparannya di pipi Devin. Menatap cowok itu tajam namun sarat akan kekecewaan.
"Bisa gak lo tunda ngomongnya bukan sekarang?" Bulan menghela napas, matanya memicing melirik sekeliling. Benar saja jika dirinya kini menjadi pusat perhatian.
"Gak bisa lo lepas dari gue gitu aja. Gue punya salah apa sama lo? Kita bahkan baik-baik aja tadi siang." Suara Bulan memelan di akhir. Tanpa menunggu respon Devin lagi, ia mencari tempat dirinya duduk. Pembawa acara sudah mulai menaiki panggung membuka acara, menengadahkan kepalanya Bulan mengerjap cepat menahan air matanya yang siap turun. Punggungnya terasa meremang karena pandangan menusuk dari arah belakang, menoleh ke belakang sejenak Bulan merutuki pilihannya yang memilih menoleh. Tanpa sadar air matanya lantas jatuh begitu saja tanpa bisa ia tahan.
"I hate you!" kata Devin tanpa suara.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan & Bintang
Teen Fiction[COMPLETED] Bintang selalu merasa bahwa cinta tak pernah berpihak padanya. Sebagai mahasiswa desain komunikasi visual dan Presbem FSRD, kegiatan hariannya padat. Kisah cinta pandangan pertamanya pada Biru Cendana berakhir tragis--penuh keegoisan. L...