14 | Good Bye

1.9K 166 1
                                    

GOOD BYE

BAGIAN EMPAT BELAS

••••

Terasa seperti tersesat di kota orang lalu tak tahu tujuannya harus kemana. Bulan hanya merasa kesal. Dia tahu rasanya dikhianati dan dibohongi, jadi menurutnya Angga seharusnya tak merasakan hal yang sama sepertinya. Cukup dia saja yang mengalami jika Bulan bisa berharap. Teriknya sinar matahari membuatnya sedikit menyipitkan mata. Langkahnya kini tak menentu arah. Ada getar ponsel yang terasa di saku celana namun ia abaikan.

Selalu lari dari masalah yang ditimbulkannya mungkin adalah keahliannya. Menghentikan taksi, Bulan memberikan tatapan kosong pada jalan protokol Surabaya.

"Kemana Mbak?"

"Bandara pak."

Sudut relung hatinya terasa tercubit ngilu, teringat jelas bagaimana ekspresi Bintang memarahinya. Bulan hanya menjadi sadar bahwa selama ini dia selalu menjadi pihak terabaikan. Membuka aplikasi sosial media, Bulan tersenyum getir lantas membuang pandangan keluar jendela. Nyatanya niat menenangkan dirinya ke Jogja dan mengikuti Bintang hingga cowok itu tiba di Surabaya hanya menambah banyak masalah. Mengusap air matanya yang tiba-tiba saja membasahi pipi, Bulan memejamkan mata. Sepertinya tidur sejenak bisa menghilangkan beban pikiran.

Sepertinya ia kini menemukan satu alasan mengapa Papanya tak pernah setuju dirinya menjadi publik figur. Privasinya menjadi bahan konsumsi publik, itu risiko yang harus ditanggungnya.

****

Cekalan tangan Raga menghentikan langkah Bintang yang hendak mengejar Bulan meski pun gadis itu sudah menghilang dari pandangan mata. Ia merasa bersalah sekaligus marah, rasa tanggung jawabnya karena membawa Bulan ke Kota Surabaya yang jelas adalah kota yang terasa asing bagi Bulan sebagai pendatang membuatnya cemas pula jika gadis itu kesasar. Menghela napas pendek, Bintang menyugar rambutnya lantas menoleh pada Raga.

"Makanya, jangan emosian!" Raga menggelengkan kepalanya prihatin. Meraih ponsel Bintang yang berada di genggaman tangan cowok itu, Raga menambahkan nomor ponsel Bulan di kontak lalu mencoba menghubunginya. Hasilnya nihil.
"Nomor telponnya aja lo bahkan gak punya,"cibir Raga, "dasar payah!"

Bintang memutar bola mata, merebut ponselnya kembali lalu menuju pangkalan ojek terdekat. "Mau kemana lo?" teriak Raga bertanya namun tak mendapat jawaban dari Bintang. Cowok itu sudah menghilang bersama laju motor mamang ojek pangkalan berhelm kuning.

"Yah, bodo amat." Raga menghendikkan bahu, langkahnya kembali memasuki restoran. Mendengus tak suka ketika masih mendapati keberadaan Biru dan Angga yang menjadi pemicu kecanggungan di meja nomor sepuluh.

"Kayanya gue balik aja dulu ya, ada janji ketemu gebetan di UA."
Gigi tersenyum pongah, lirikannya terjatuh pada Adam memberi kode. Adam mendengus kemudian mengangguk. "He,em gue mau berburu mahasiswi cantik UA, bye!"

"Lo mau cari gebetan juga di UA?" tanya Biru memandang sepenuhnya pada Raga, Raga tersenyum miring merapikan buku-buku referensi yang tak sempat terbaca ke dalam tas.

"Gue mau nemuin Davina, mau ikut?"

Biru mengeram tertahan, kepalanya reflek tertoleh menatap Angga. Cowok itu tampak santai namun sesungguhnya mencuri-curi dengar. "Davina lagi ada kawasan makam paneleh, ikut gak Ngga?"

"Sure."

Seringai puas Raga tertuju pada Biru, "Kuy, Davina udah nunggu lama."

"Shit."

****

O-oh, Bintang merasa mereka ulang adegan dalam film ada apa dengan cinta. Pandangannya mengedar mengitari penjuru bandara, barangkali dia menemukan keberadaan Bulan. Tak mungkin gadis itu hilang dengan begitu cepat. Ponselnya sepenuhnya menempel ke telinga dan hanya nada sambung terdengar tanpa terjawab. Mengumpat pelan, Bintang memanjangkan langkah kakinya menuju gate pemberangkatan.

"Ashh! Ngerepotin bener deh," gerutunya kesal. Suasana ramai bandara cukup membuatnya kesulitan mencari. Sudut matanya mendapati siluet gadis berjalan lesu dengan tatapan fokus pada ponsel, buru-buru Bintang berlari menghampirinya.

"Lo tuh bisa gak sih gak usah kekanakan?" semburnya langsung, dengan napas terengah Bintang mengangkat dagu gadis itu untuk menatapnya. Sayangnya ia justru terkejut, dia bukan Bulan. Gadis itu tampak kebingungan dan memandang Bintang takut, mengacak rambutnya frustasi Bintang langsung berlalu pergi.

"Sori."

Mengepalkan kedua tangan disisi tubuh, Bintang kembali mencari. Jika di drama-drama hanya ada dua kemungkinan, pertama Bulan sudah berangkat ke Jakarta lalu dia baru bisa bertemu dengan Bulan 14 tahun kemudian seperti Cinta yang menunggu Rangga, kedua Bulan datang tiba-tiba dari belakangnya. Sayangnya dua kemungkinan itu nihil. Bagaikan menemukan oase di padang pasir, Bintang justru menemui Bulan yang baru saja keluar dari toilet. Dewi fortuna masih berpihak padanya, tanpa membuang waktu ia segera menghampiri Bulan. Tampak wajah gadis itu lebih segar dengan beberapa tetes air yang mengalir di wajah.

"Kita butuh bicara!"

Bulan tersentak kaget, raut wajahnya berubah marah dengan cepat. "Kita? Lo aja kali, gue enggak!" sinisnya bersiap-siap pergi.

"Minggir! Gue mau balik!"

Bintang menggeleng, enggan melepaskan cekalannya di tangan Bulan, pandangannya menajam memberi kesan intimidasi.

"Udah? Sekarang lo ikut gue. Gak usah bikin drama di Bandara."

"Drama? Ha! Oiya, gue lupa. Gue kan drama queen kata lo." Menghempaskan tangannya kasar, Bulan mengangkat wajahnya tinggi-tinggi, berbalik menantang.

"Oke, gue minta maaf bilang lo drama queen, bisa gak kita selesaikan sekarang baik-baik?"

"Nggak!" kata Bulan keras, ia masih dengan egonya yang tinggi. "Sana lo balik aja, samperin cewek kegatelan gak tau diri itu."

Bintang mendengus sebal, "Stop bilang Biru cewek kegatelan,"katanya berusaha sabar.

"Terus apa? Cabe-cabean yang mulai busuk? Duh kepanjangan gak ada nickname nya. " Bulan berujar santai, sambil memandangi kuku-kuku jarinya ia kemudian tersenyum miring.

"Lagian elo juga siapa sih? Astaga! Anggap aja kita gak pernah kenal, dan jangan sok kenal."

"Fine! gue juga nyesel kenal sama lo. Gue kira lo itu baik." Bintang berbalik pergi, langkah kakinya buru-buru dengan napas memburu. Seolah sia-sia saja waktunya untuk mengejar Bulan hingga ke Bandara.

"Satu lagi..." Bulan berteriak keras menghentikan langkah Bintang. "Bye!" lirihnya pelan.

Tbc

Jangan lupa pencet tanda bintang, tinggalkan komentar.

Ef.



Bulan & BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang