35 |What Is Love?

1.5K 118 5
                                    

Ngomongin cinta itu bikin capek. Gak nemu-nemu definisi pas nya karena rasanya nano-nano. Dalam diam ditengah suara berisik ketak-ketik dan  obrolan unfaedah dalam buih. Apasih yang diharapkan dari mengobrolkan masalah cinta daripada pentingnya mikir gimana cara keluar dari kantor polisi. Iya, seperti itu yang dipikirkan Bintang. Ia sudah tenang dan santai karena si noni belanda tak mengganggunya lagi. Ada alasan mengapa ia takut pada wujud mereka, Bintang waktu kecil pernah berteman dengan noni yang tentunya mahkluk tak kasat mata. Hampir dua tahun dan mereka seperti terikat hubungan kuat. Di akhir cerita sang noni justru ingin mencelakai Bintang, ingin Bintang satu dunia dengannya. Semenjak saat itu Bintang takut setengah mati. Sesimpel itu alasannya.

Lalu, sekarang ia duduk bersandar pada dinding, memijat pangkal hidungnya sambil menunggu kapan dibebaskan. Kadang otaknya jadi tidak benar ketika pikirannya stres, Bintang mendadak berpikir sinetron. Membayangkan duduk ala pose the virgin dengan batas jeruji besi dengan Bulan terus night talk sampai ketiduran. Tapi itu gak lucu. Jadi, Bintang hanya bisa menghela napas ketika ia menoleh sekitar menyadari itu hanya imajinasi otak sinetronnya.

Bulan sudah pulang sejak sejam yang lalu setelah diusir-usir paksa oleh pak gempal Suprapto. Jari Bintang berputar-putar di atas ubin membentuk sebuah pola. Menuliskan sebuah kalimat yang hanya dia yang tahu. Rasanya berat. Emang benar kata si dilan itu, rindu itu berat. Begonya, Bintang baru ketemu Bulan sejam yang lalu dan dia sudah rindu. Memang benar ya kata orang jika dititik terendah, ia selalu membutuhkan bahu untuk bersandar menguatkan. Daripada rindu ke Bulan, Bintang lebih merasa rindunya lebih berat ke bunda. Biasanya di jam-jam seperti ini bundanya akan menginvasi dirinya buat quality time bersama sang anak laki-laki.

"Oy, Tang!"

Panggilan itu membuat Bintang tersentak dari lamunannya. Adam baru selesai giliran di interogasi, ia duduk bersila di depan Bintang. Tampak merogoh saku celana sebelum mengeluarkan sepaket kartu-kartu mainan uno yang selalu dia bawa kemana-mana.

"Daripada bosen, mending main uno."

Fix. Otak Adam agak miring.

Bintang mengangguk saja setuju. Benar juga, daripada mikir pusing-pusing mending main uno. Tapi, Bintang laper dimana laper lebih sering bikin baper. Jadi, ketika dengan gak tau dirinya ia lagi-lagi melihat Bulan yang nekat nerobos-nerobos masuk sambil membawa kantung plastik berisi seliter susu coklat ultramilk dan beberapa bungkus sari roti dan sosis. Bintang baper. Segampang itu baper ketika dia laper.

"Pacar!"

Dan sejak kapan Bulan manggil pacar?

Bintang seperti mendengar pengakuan publik. Kenapa otaknya menye sekali kali ini?

Bulan tersenyum lebar. Duduk bersila di depan jeruji besi yang mengurung Bintang. Mengisyaratkan dengan tangannya agar Bintang mendekat.

"Sini pacar, gak laper?"

Bulan memberikan dua bungkus sari roti pada Adam. Semuanya rasa keju. Karena semaniak itu Adam dengan keju.

"Beli susunya seliter banget?"

"Buat dibagi-bagi. Aku bawa gelas cup."

Harus banget bagi-bagi? Harus banget bilang Aku?

Bintang tersenyum sekilas, reflek. Bulan tersenyum manis sekali. Sayangnya, Bintang gak rela bagi-bagi.

"Lo harus makan yang banyak. Pucet banget tau mukanya."

Pake lo lagi? Oh, mungkin tadi lidahnya keseleo.

"Hm."

Bintang hanya menjawab singkat. Kantor polisi ini sudah berubah layaknya panti penampungan kaum beralmamater. Sementara Bintang sibuk mengunyah sari roti rasa coklatnya. Bulan membagi-bagikan susu seliternya itu. Disambut dengan senyuman lebar dan beberapa celetukan minta tanda tangan dan foto bareng. Tapi, yakali fanservice di kantor polisi dalam keadaan nasib bebas malam ini atau tidak saja kurang jelas.

"Tadi bunda sama ayah ke sini. Terus mereka udah balik lagi."

Bintang memang selaper itu. Tiga bungkus rotinya sudah tandas. Jadi, stok bapernya kayanya udah tinggal 10% doang.

"Minumnya."

"thanks btw."

"Lo kaya sama siapa aja sih, Tang. Gue kan pacar lo."

Bulan bilang pacar berkali-kali. Ada apa dengan kata pacar sebenarnya?

"Maafin gue yang egois banget kemarin. Jangan anggap kata-kata gue yang minta putus ya. Gue gak sanggup kalo putus sama lo."

"Why?"

"Gue udah terlanjur cinta banget sama lo. "

Cinta ya? Jadi wujudnya cinta itu kaya apa? Bintang masih bingung menerka-nerka wujud cinta ini. Karena entah ia sadar atau tidak definisi teroritikal dari kata cinta membuat ia tidak yakin. Jadi, apakah ini namanya ia cinta Bulan jika sekarang perutnya melilit kaya cerita novel dimana kupu-kupu berterbangan? Yakin jika itu bukan karena mules? Atau jantungnya yang debar-debar kenceng? Tapi sekali lagi yakin itu bukan karena ia hidup dan jantungnya berdebaran seperti itu?

"I know."

Dan hanya dua kata itu yang keluar dari mulutnya. Membuat mereka kemudian diam dalam keheningan. Bintang jadi mulai berpikir, selama ini ia memang jatuh cinta sesungguhnya pada Bulan atau hanya rasa penasaran. Dan daripada ia baper bingung mikir keras, Bintang akan membiarkannya let it flow like water. Iya, sementara gitu aja. Sampai titik dimana ia yakin-seyakinnya, ada saat Bintang harus mengakui jika Bulan adalah pilihan untuk masa depan di hari tuanya atau kisahnya hanya berhenti di persimpangan jalan.

Tbc.

____

Vote komen and share.

Bulan & BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang