8 | Pertemuan di Kota Yogyakarta (1)

1.9K 124 0
                                    

PERTEMUAN DI KOTA
YOGYAKARTA

BAGIAN DELAPAN

•••

Matahari bersinar terlalu terik hingga membuat keringat bercucuran berlebihan. Bintang mengamati jalanan yang ramai lancar lantas membenarkan posisi tas punggungnya. Langkah kakinya terayun melewati beberapa toko-toko yang tak pernah sepi, musik langgam jawa terdengar samar-samar entah dari toko sebelah mana lalu berubah oleh suara nyanyian dangdut yang terlalu keras. Suara cakap-cakap manusia disekitarnya bak putaran simfoni merdu, Bintang tersenyum tipis.

Kereta kuda yang terparkir disisi jalan membuat Bintang tertarik. Langkahnya berjalan mendekat kemudian membidik objek itu dengan kameranya. Memori kameranya hampir penuh dengan foto-foto hasil perburuannya di sepanjang sisi Kota Yogyakarta. Yogyakarta terlalu menawarkan banyak kenangan. Sebelum memasuki kembali masa-masa aktif kuliah dan liburan berakhir, Bintang akan menghabiskan waktunya dengan travelling. Puas mengamati keramaian jalan Marlioboro, Bintang kembali berjalan mencari tempat makan, perutnya perlu diisi karena ia pun tak sarapan pagi tadi.

Berjalan cukup jauh, Bintang memasuki kedai rumah makan yang menjual gudeg. Memesan satu porsi dan mencari spot duduk ternyaman, cowok itu bertopang dagu lantas membuka note yang ia bawa di tas. Agenda perjalanannya selama liburan. Pertama Yogyakarta--Surabaya--Bali-- lalu kembali ke Jakarta. Sepertinya waktu liburan selama hampir sebulan penuh itu cukup.

Satu porsi gudeg telah tersaji di hadapannya. Mula-mula Bintang mengaduk es teh yang terasa segar, meminumnya sedikit baru memulai makan. Sembari memandang keluar kedai mengamati lalu lalang manusia yang memenuhi setiap ruas trotoar, kunyahan di mulutnya nyaris terhenti ketika dari sudut matanya mendapati objek yang hampir membuatnya uring-uringan sepanjang malam.

Gadis berambut coklat terang ketika terkena terpaan sinar matahari dengan polesan riasan tipis itu memasuki kedai dengan langkah ringan, duduk di sisi kedai yang lain setelah memesan tanpa acuh akan keadaan sekitar. Kepalanya kemudian tertoleh ke kanan-kiri karena merasa diamati, ketika pandangan mereka bersitubruk, Bintang tersenyum miring. Menopang dagu menatap ke arahnya tak membiarkan dirinya mengerjap cepat. Langkah kaki Bintang beranjak dari duduknya, mendekat, "Halo! Bulan, kita ketemu lagi!"

Bulan mendengus memutar matanya, ketika menu pesananya tersaji di hadapannya, ia tersenyum tipis mengucapkan terima kasih. Tak mengacuhkan Bintang sama sekali dan makan dalam diam.

"Lo makannya banyak juga ya," komentar Bintang namun sekali lagi tak mendapat tanggapan. Bulan hanya meliriknya sekilas, mengusap sudut bibirnya dengan tisu setelah selesai makan.

"Lo siapa ya? Sok kenal!" sewot Bulan beranjak berdiri untuk membayar. Bintang ikut berdiri mengeluarkan dompetnya dari saku.

"Berdua, Mas." Bulan tertoleh ke belakang dengan cepat, memicingkan matanya tidak suka pada Bintang lalu menghendikkan bahunya masa bodoh. Sedikit menunduk untuk keluar dari kedai agar kepalanya tak terantuk pintu, Bulan berjalan cepat menjauh dari Bintang.

"Lo ada hutang sama gue!" kata Bintang cepat menahan lengan Bulan agar berhenti melangkah. Menarik Bulan agar berjalan mengikutinya.

"Gue hutang apaan sama lo? Ngaco!"

"Gak usah pura-pura lupa dan pura-pura gak kenal sama gue."

Bulan mendengus menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dari pancaran matanya terlihat jelas bagaimana ia mencoba menahan emosi yang bergejolak.

"Lo hutang banyak sama gue, gara-gara lo... Pertama lo ngebuat Biru salah paham sama gue dan ngejauhin gue. Kedua, lo gak bilang makasih dan maaf. Ketiga, lo bawa-bawa gue masuk infotainment, apa-apaan tuh! Gue tunangan sama lo?" Bintang berdecak, "Lo kadang kalo ngomong gak dipikir dulu ya?"

Bulan mendengus bosan, "Kaya gue juga mau aja digosipin tunangan sama cowok antah berantah kaya lo!"

"Yeah! Whatever, i dont care about that, sekarang lo cuma perlu bayar hutang budi lo ke gue. Ikut gue!" Bintang menyeringai puas ketika pada akhirnya Bulan setuju dengan permintaannya. Hari semakin sore ketika sorot jingga di langit semakin mendominasi, jalanan yang kian menyempit memasuki sebuah gang membuat keduanya memperlambat langkah.

"Ck. Berapa lama lagi gue mesti jalan kaki?"gerutu Bulan mulai kesal. Ketika langkah kaki Bintang berhenti, ia pun menghentikan langkah. Mengamati pelataran luas dengan hamparan rumput hijau yang memanjang. Di depannya terdapat sebuah kandang kuda yang kosong dan sebuah rumah joglo yang tampak berumur tua dan kokoh.

"Kita di mana?"

Bintang mengarahkan kameranya mencari posisi yang pas untuk pengambilan gambar. Melirik sekilas Bulan yang kini berdiri di sampingnya menunggu jawaban akan pertanyaannya.

"Ini rumah peninggalan buyut gue." Bintang mengangkat telunjuknya menunjuk salah satu sudut rumah yang dipenuhi ukiran. "Lo ke sana!"

"Lo mau jadiin gue model tanpa kesepakatan kontrak?" Bulan berdecak, "Big No!"

"Gue bisa aja tuntut lo atas penyeretan nama gue ke masalah lo." Bintang berujar santai, menyandarkan tubuhnya pada pilar kayu. Kata-kata Bintang sukses membuat Bulan menghela napas panjang, mengibaskan rambutnya ke belakang, gadis itu menengadahkan tangan. "Ikat rambut! Rambut gue lagi gak on."

Bintang memiringkan kepalanya menatap Bulan aneh, "Lo minta karet rambut ke gue? Gak salah lo?" mengibaskan tangannya meminta Bulan mendekat, dahi Bintang sedikit berkerut tampak berpikir.

"I have great costume for you." Membuka tas punggungnya, Bintang meraih kunci dengan gantungan doraemon lantas memasukkannya pada lubang pintu. Aroma wewangian melati bercampur kayu manis langsung menguar ketika pintu kayu itu terbuka, bergaya jawa kuno dan artistik rumah itu tampak bersih. Bulan mengkeri langkah Bintang memasuki rumah, ada sebuah lukisan bunga krisan dengan ukuran besar terpajang di sisi sebelah kanan ruang tamu. Melepaskan jaket jeansnya menyisakan kaos putih tanpa lengan, Bintang berlalu menuju salah satu ruangan. Tak ingin ditinggal sendiri, Bulan kembali mengekor. Pandangan kagumnya pada ruangan yang dimasuki Bintang membuatnya berdecak terpukau. Itu sebuah kamar atau lebih tepatnya galery penuh lukisan menakjubkan, pun sebuah kursi kayu bewarna putih yang kiranya tampak nyaman.

"Stop! Jangan duduk di sana! Nanti Luna marah." Langkah Bulan menghampiri kursi terhenti. Matanya mengerjap bingung, "Luna siapa?"

"Putri Jepang tahun 1944," ujar Bintang santai, seketika Bulan bergidik ngeri, bulu romanya terasa meremang seketika terlebih ketika kursi itu mulai bergoyang samar.

"What the....!"

"Language!"

Bintang tertawa pelan, tangannya membuka lemari mendapati beberapa pakaian tergantung di dalam lemari. Meneliti satu persatu pakaian di dalam lemari, ia meraih sebuah kebaya warna kuning yang tampak cantik dan sebuah selendang putih. Menahan tawanya agar tak meledak karena Bulan yang tiba-tiba tak ingin jauh darinya, Bintang mengulurkan kebaya dan selendang itu pada Bulan.

"Pakai itu! Gak pake lama!"

"Seriously?"

"Menurut lo? Atau mau gue pakein, beb?"bisik Bintang dengan wajah datar. Tanpa menunggu jawaban Bulan, ia melangkah keluar dari ruangan dan menutup pintunya rapat.

Bulan meneguk ludanya, memandang sekitar ruangan dengan ngeri lantas buru-buru berganti pakaian. "Gila! Awas aja nih orang, tunggu pembalasan gue!"

Bulan & BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang