7 | Kabur

1.8K 128 0
                                    

KABUR

BAGIAN TUJUH

•••

KASAK-KUSUK di agensi dan hilir mudik di gedung bertingkat tiga itu terlalu kentara. Layar tv menayangkan bagaimana berita asmara mengenai Bulan dan Devin dan ucapan spontan Bulan menanggapi wawancara wartawan. Masalah itu kian merebak luas, tuduhan Bulan selingkuh hingga mencampakkan Devin tiada hentinya mendominasi berita gosip. Dera mendengus jengkel memasuki ruangan Yongki. Gadis berambut ungu itu mencak-mencak mendapati Yongki si direktur agensi yang santai ongkang-ongkang kaki sambil memotongi kukunya yang memanjang.

"Sumpah ya! Lo malah santai banget Ki." Dera menghempaskan tubuh di sofa, Yongki adalah sahabatnya semasa kuliah jadi wajar jika Dera memanggil namanya langsung.

"Berisik! Kuku gue panjang-panjang perlu dipotong."

Dera merebut paksa gunting kuku di tangan Yongki, melemparkannya ke tempat sampah terdekat lantas menyalakan tv. "Lihat! Artis lo lagi kena masalah sekarang, buru mikir gimana kita nanganinnya."
"Halah! Gampang, nanti gue ngobrol langsung sama Devin. Kelar." Yongki berujar santai, kini tangannya mencomot donat di meja kerjanya ketika suara ketukan pintu terdengar.

"Masuk!"

"Bos, gawat! Devin sama Bela lagi konferensi pers,"kata Yuna panik. Yongki mengernyitkan dahinya, "Konferensi pers buat apaan?"

"Lihat chanel 8."

Dera buru-buru mengganti chanel tv. Tampak di layar besar itu Bela dan Devin duduk di depan para wartawan, tampak di depan lobi agensi Bela dan Devin.

"Saya sudah tidak ada hubungan apa pun lagi dengan Lentera Bulan. Saya terlanjur kecewa karena dia menghianati saya."

"Jadi gosip Bulan akan bertunangan dengan lelaki lain?"

"Ya,"sahut Bela cepat.

Klik.

Layar tv berubah menjadi hitam. Mati. Yongki mendengus jengkel lantas melirik Dera sebal, "lo sih jadi manajer gak becus!"

"Kok lo jadi nyalahin gue sih, Ki? Rese banget lo!"

"Terus salah gue? Salah nyokap gue?"

"Bodo." Dera keluar dari ruangan Yongki segera. Tangannya mengacak rambut frustasi lantas menghubungi nomor Bulan yang mendadak tidak aktif. Semenjak putus tiba-tiba, Bulan memilih mengurung diri di dalam kamarnya.

Sama halnya, Bulan menatap kosong hasil wawancara Devin yang kebetulan melibatkan Bela, tanpa bisa ia tahan lagi air matanya kembali menetes. Ia tak pernah membayangkan jika Devin akan memihak pada Bela, lebih memercayai apa kata Bela dibanding dirinya.

"Hash!" Bulan membenamkan wajahnya di bantal. Menangis dalam diam setelah memastikan kamarnya benar-benar telah terkunci. "Gue bego!" makinya pada diri sendiri.

Lekas duduk kembali, pandangan Bulan mengedar ke sekeliling kamarnya hingga terhenti pada koper pink yang teronggok di atas lemari. Perlu sedikit berjinjit untuk meraihnya, Bulan membuka lemari lalu memasukkan beberapa pakaiannya secara asal ke dalam lemari.

Air matanya masih menetes sementara layar tv masih menyala, setelah memastikan semuanya telah masuk ke dalam koper. Ia membuka ponsel untuk mencari tiket pesawat.

"Kamu mau kemana?" Renata--Mama Bulan yang tengah menonton tv di ruang tengah segera berdiri menghadang. "Mau pergi kemana? Mama tanya kamu."

"Bulan mau menenangkan diri, Ma."

"Gak. Selesaiin masalah kamu dan jangan kabur."

Bulan menatap mata Mamanya lurus, setetes air mata kembali jatuh membasahi pipi. "Ma, tolong ngertiin aku,"lirihnya pelan. Renata menatap Bulan iba, tanganya langsung terulur mendekap putri semata wayangnya itu erat. Menyalurkan dukungan dan kasih sayang tanpa kata-kata.

"Kemana?"

"Bulan janji bisa jaga diri. Gak lama kok, Ma."

Renata menghembuskan napasnya pelan lantas mengangguk, mengusap kepala Bulan penuh sayang ia tersenyum. "Hati-hati ya!"

Bulan mengangguk, kopernya ia seret menuju mobil dimana sopirnya sudah menunggunya. Bulan tersenyum samar, segera memasuki mobil lantas menyandarkan kepalanya di jendela mobil.

Kisah cintanya memang tak pernah berakhir indah, selalu saja ada masalah yang membuatnya kembali merasakan luka. Memejamkan matanya, Bulan kembali menangis dalam diam. Bagaimana pun Devin telah menemani harinya selama dua tahun terakhir.

"Kamu jahat," bisiknya hampir tak terdengar. Jajaran rumah di kompleknya kini tak lagi terlihat melainkan mobil yang telah berbaur dengan kemacetan ibukota. "Pak, bangunin saya kalo udah nyampe bandara."

----

"Apa cita-cita kamu di masa depan?" tanya Devin dengan tatapan meneduhkan. Bulan meletakkan kepalanya di atas paha Devin sembari tiduran menatap langit biru. "Cita-cita aku?"

Devin mengangguk mengiyakan. Jari-jemarinya sibuk menyisiri rambut Bulan, "Punya suatu rumah di tepian danau yang asri, halamannya luas lalu di depannya ada rumah pohon dan taman bunga aster."

"Lalu?"

"Lalu setiap pagi kamu yang pertama kali aku lihat."

Devin tertawa pelan menggenggam tangan Bulan yang terasa pas ditangannya. "Mau tahu gak cita-cita aku apa?"

"Apa?"

"Jadi kepala keluarga di keluarga kecil kita, aku udah mikir jauh banget tahu." Devin tersenyum lebar, sebelah tangannya masih sibuk membenarkan rambut Bulan tepat di dahi kemudian menunduk untuk sekadar berbisik pelan, "aku sayang kamu."

Dan Bulan memejamkan mata ketika kecupan Devin mendarat di dahinya, matanya membuka saat merasakan sesuatu yang melingkar di jarinya. "Now you're my fiance, Bulan."

"Ka---kamu--"

"Jangan tinggalin aku, okay?"

Bulan segera membuka matanya ketika kepalanya hampir saja terantuk jok depan. Matanya mengerjap pelan, ia sudah sampai di Bandara tanpa ia sadari. "Nyatanya kamu yang ninggalin aku, Vin," batin Bulan tersenyum miris.

"Mbak Bulan, saya bawain ya kopernya?"

"Gak usah Pak, saya sendiri aja." Bulan tersenyum tipis. Langkahnya terayun cepat menuju gate.

"Yap! Mari buat kenangan menyenangkan lainnya," kata Bulan menyemangati dirinya sendiri. Senyumnya terlalu lebar meski terlihat dipaksakan.

"Lentera Bulan?"

"Yup, its me."

Tbc

Next update kemungkinan Rabu.

Bulan & BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang