20 (2) | War Zone

1.5K 118 1
                                    

WAR ZONE

BAB DUA PULUH
BAGIAN KEDUA

***

Marah, Bulan marah besar kepada Dera. Sesampainya di tempat prmotretan Bulan langsung diberondong omelan panjang dari Dewa--kameramen yang ditunjuk pihak majalah. Dengan ditarik cepat oleh Alea--penata kostumnya dan Nari--sang make up artist. Bulan duduk menatap kosong pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya mulai ditaburi aneka macam make up, memejamkan matanya Bulan masih bisa mendengar suara decitan pintu yang terbuka. Sayangnya matanya tengah dipoles eye shadow sehingga ia tak bisa melihat siapa yang masuk.

"Halo... Mantan,"sapa Devin--orang yang baru saja masuk. Bulan sontak langsung membuka matanya membuat riasan matanya sedikit coreng dan Nari menggerutu. Melirik Devin tajam, Bulan memilih mengabaikan.

"Lanjutin, Nar!" perintahnya angkuh. Devin tertawa pelan, berjalan mendekat menarik bangku di samping Bulan.

"Gue kira lo gak terima kontraknya,"kata Devin enteng. Ia merapikan jambul rambutnya dengan jari kemudian menoleh menatap wajah Bulan dari samping. Tersenyum tipis, Devin menyandarkan punggung pada kursi.

"Btw, gue kangen sama lo."

"Sayangnya gue enggak,"jawab Bulan ketus.

"Masa?"

Bulan membuang napasnya kesal. Wajahnya telah selesai dirias, hanya tinggal rambutnya yang ditata sedemikian rupa.

"Kenapa lo enteng banget ngomong gitu ke gue?"

"Karena gue masih sayang sama lo." Bulan tak habis pikir dengan kata-kata Devin padanya, Bulan tak ingin tersakiti lagi karena Devin.

"Terus kenapa lo putusin gue? Kenapa lo malah jadian sama Bela? Kenapa lo seolah-olah gak bersalah sama sekali? Dan kenapa sekarang lo ada di sini? Gue benci liat wajah lo!" kemarahan Bulan meluap. Emosinya yang sempat mereda karena Dera kini meluap kembali, Dera tak pernah mengatakan jika partner nya kali ini adalah Devin.

"Kenapa? Lo takut gak bisa move on dari gue karena gue ada disini?"

"Lo emang brengsek, Vin." napas Bulan memburu, buru-buru ia membuang pandangan, enggan menatap Devin lama-lama. Itu hanya akan membuatnya lemah lagi.

"Lo tahu kenapa gue putusin lo?" Devin menarik bahu Bulan agar kembali menghadapnya. "Gue terlalu capek karena lo egois. Tahu gak kalo lo egois? Lo cuma mainin perasaan gue, gue tahu kok Bul. Niat awal lo pacaran sama gue gak tulus,"kata Devin terkekeh pelan.

"Kenapa diam? Lo gak bisa jawab atau nyangkal?" Devin mengangguk mengerti, "biar aja lo pikir kalo gue yang jahat disini, gak papa. Gue ngerti kok kalo cowok emang selalu jadi pihak yang salah."

Devin beranjak berdiri, tatapannya memandang Bulan sama seperti saat mereka masih pacaran dulu. "Gue cuma mau bilang kalo perasaan gue buat lo itu tulus, gue jujur. Terserah lo menilainya gimana."

"Dev,"lirih Bulan menunduk, pandangan matanya mulai mengabur. Bulan ingin menangis namun ia takut riasannya rusak. Kata-kata Devin terlalu menohok dirinya, Devin benar, Bulan egois.

"Jangan nangis, gue gak suka liat lo nangis."

"Dev!"

"Ayo keluar, udah dipanggil Dewa. Nanti dia ngamuk." Devin keluar mendahului, benar saja Dewa hampir mencak-mencak untuk yang kedua kalinya. Ia langsung mengarahkan Devin untuk pemotretan pertama. Sementara Bulan masih merutuki perasaannya yang sama untuk Devin. Nyatanya, dia masih secinta itu pada Devin.

"Bulan, bego!" katanya dengan suara serak. Mengusap sudut matanya yang berair, Bulan keluar dari ruangan menuju tempat pemotretan. Melangkah ringan seolah tak terjadi apapun sebelumnya, ia berpose nyaman bersama Devin. Saling bertukar senyum dan pandangan memabukkan yang membuat orang salah paham jika cinta mereka kembali terjalin.

"Boleh gak kalo gue bilang lo cantik hari ini?"

Bulan mendongak hanya diam. Dewa jelas memanfaatkan kedekatan mereka itu dalam bidikan kameranya, setelahnya ia tersenyum puas. Mengacungkan jempolnya ke udara.

"Great! Oke kita break dulu sampe jam empat, semua boleh bubar!"

"Dev, banyak yang perlu kita bicarain."

"Sori, Bela udah nunggu,"jawab Devin menghendikkan dagunya ke arah pintu masuk. Bela berdiri di sana dengan membawa dua cup kopi dan melambaikan tangannya pada Devin agar mendekat. Bulan menatap punggung Devin nanar, nyatanya dia kalah lagi dari Bela.
"Gue bawa pergi pacar gue ya, Bulan." Bela menatapnya mengejek, Bulan tahu Bela menertawai kekalahannya dalam hati. Dengan perasaan dongkol, Bulan hanya diam. Ia merogoh tas selempangnya mencari ponsel, menghubungi nomor Bintang.

"Halo... Lo di mana?"

"....."

"Shit!"

Bulan menutup panggilannya sepihak, tubuhnya jatuh terduduk dengan kepala terdongak menatap langit-langit.

"Kenapa gak ada yang milih gue?" tanyanya terlalu lirih nyaris tak terdengar, matanya yang memerah kini berkaca-kaca, Bulan tak peduli riasannya rusak kali ini. Masa bodoh, ia hanya butuh menangis dan meluapkan emosinya.

"Kalo mau nangis ya nangis aja, gak usah ditahan-tahan." Bulan seketika menoleh, tanpa banyak kata ia langsung menghambur memeluk Bintang yang entah sejak kapan dan bagaimana ada di depannya. Bahunya bergetar hebat, ia hanya butuh sandaran.

"Gak capek nangisin cowok terus?"

Bulan tak menjawab, hanya suara senggukannya yang terdengar samar. Bintang menghela napasnya, bukan pertama kalinya pula baginya melihat Bulan menangis seperti ini. Dengan ragu-ragu, Bintang menepuk-nepuk punggung Bulan menenangkan.

"Dia jahat banget sama gue,"adu Bulan tak peduli air matanya membuat maskaranya luntur.

"Lo juga jahat sama gue, kalo lo sadar,"jawab Bintang santai. Sejujurnya ia berada di ruang pemotretan Bulan sekarang karena panggilan darurat dari Dera.

"Emang lo gak jahat apa?"

"Enggak tuh." Bintang menggigit bibirnya agar tak tertawa, sumpah demi apapun wajah Bulan terlalu mengenaskan saat ini.

"Bodo amat, gue lagi mau nangis, jangan diajak ngobrol dong!"omel Bulan dengan hidungnya yang memerah. Bintang berdecak, tak habis pikir dengan segala bentuk kelakuan Bulan.

"Nangis-nangis aja sana! Nyaman banget ya meluk gue? Lo cewek modus banget sumpah!"

"Terserah!"

***

Muehe, gimana cepet update kan? Komen dong,

Af

Bulan & BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang