Bulan memandang cermin yang memantulkan wajahnya dengan lesu. Naskah tebal ditangannya hanya teronggok tanpa ia baca. Seperti biasa, Nindita akan meriasi wajahnya sebelum proses pengambilan gambar untuk adegan percobaan.
Bulan mendongak ketika Nindita mengintruksikan dirinya untuk mendongak, matanya mengerjap cepat. Mendadak tenggorokannya terasa kering dan sesak. Tidak ada chat dari Bintang sejak kemarin. Itu membuat Bulan bertanya-tanya dan menyesal.
"Udah belum Ndi?" Bulan bertanya. Suaranya lirih bergetar.
"Bentar lagi."
"Kok lama. Gak usah pake bulu mata. Mata gue sakit," keluh Bulan ketika sudut matanya berair. Ia tertawa hambar, menyeka air matanya yang lancang keluar begitu aja.
"Mata gue lagi sakit banget, kaya mau nangis gitu." katanya beralibi. Nindita menatapnya dalam diam. Mencoba mengerti.
"Aduh, gue pengen nangis, gimana dong make up nya rusak dong ya?"
Bulan tertawa. Matanya memerah kemudian meringis tertahan dan menunduk. Gadis itu menangis sesenggukan menutup kedua matanya, terus meracau jika matanya sakit. "Haha... Mata gue sakit banget. Nangis terus kan, Haha..."
Nindita menepuk-nepuk punggungnya pelan,"Gak papa. Nangis aja, ntar gue benerin make up lo."
"Haha! Gue bego, Ndi. Gue bego."
Bulan mengusap kedua pipinya, memandang Nindita dengan penuh harap."Tolong bilangin sama sutradara, gue ada urusan penting banget. Gue gabisa fokus take hari ini."
"Gue gabisa." Nindita memandanginya bersalah. "Sori, Bul. Lo tau wewenang gue gak sebesar itu buat bikin alibi. Lo take dulu baru kelarin masalah lo, oke?"
Bulan menatapnya marah, "Kenapa lo sama aja kaya Dera?" teriaknya emosi. "Lo semua sama aja! Egois!"
_____
Rega menyenggol bahu Bintang yang tampak melamun meski pandangannya menatap ke depan orator. Sudah hampir tiga jam mereka berdiri di depan istana negara, mendengarkan beberapa tuntutan untuk pemerintah.
"Apa?"
"Si Biru kemana? Kok ilang."
"Gak tau gue. Gak peduli." Bintang melengos, kembali menatap ke depan. Peluhnya bercucuran menetes dari dahi, "Minta minum!"
Rega menyodorkan botol aquanya, ia mengamati sekitar. Kali ini massa lebih banyak, mengencangkan ikatan kain di kepalanya, ia kembali berbicara pada Bintang.
"Kayanya, bakal susah mediasi nih."
"Pasti, gitu."
Beberapa jalan protokol telah ditutup, matahari semakin terasa menyengat. Bintang merasakan ponselnya berdering, ia merogohnya dari saku almamater yang dikenakan dan melihat sekilas caller id. Bintang membiarkannya, memilih menonaktifkan ponsel dan kembali memasukkan dalam saku.
"Adam kemana?"
"Cari toilet katanya."
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan & Bintang
Teen Fiction[COMPLETED] Bintang selalu merasa bahwa cinta tak pernah berpihak padanya. Sebagai mahasiswa desain komunikasi visual dan Presbem FSRD, kegiatan hariannya padat. Kisah cinta pandangan pertamanya pada Biru Cendana berakhir tragis--penuh keegoisan. L...