"Ia memiliki cinta yang gelap untuk ayahku." -H
*
**
"Emma," panggilku memandang danau tenang di hadapanku.
Emma bergumam disampingku menandakan ia mendengarku. Tubuhnya bersandar rumput sementara mata indahnya tak henti-hentinya memandang kagum langit petang.
"Kau mengatakan suatu hal tentang robot. Robot itu apa?" Tanyaku. Emma diam sejenak. Lalu beberapa detik kemudian ia baru mengerti.
"Oh yang itu," katanya.
Selama beberapa hari tinggal di rumah Emma aku tak lagi mengungkit masalah di ruang makannya itu. Pun Emma tak juga membicarakan apa-apa karena tahu aku tak akan suka. Namun, kali ini aku sendiri yang mengungkitnya. Tak tahu apa yang terjadi padaku.
"Robot itu sebuah mesin yang dapat bergerak dan melakukan susuatu. Aku belum pernah melihatnya. Masih sangat susah membuatnya dan tidak dipasarkan. Kau tahu? Masih dalam proses penelitian. Tapi, rasanya akan sangat menakjubkan jika mempunyai robot." Ucapnya dengan nada memuja. "Jika ada pun pasti harganya akan sangat mahal." Lanjutnya cemberut.
"Aku bisa jadi robotmu." Ucapku begitu saja tak mau membuatnya cemberut. Namun, Emma justru terbahak-bahak mendengarku.
"Kau mau menjadi robotku? Yang benar saja!"
"Memangnya kenapa?"
"Harry, tidakkah kau mengerti? Robot itu hanya sebuah benda mati." Katanya lalu menatapku. "Tidak hidup, Harry. Ia mati."
"Justru itu," kataku membuang muka. "Rasanya pasti tak akan tersiksa seperti ini 'kan?" Lanjutku. Baru kali ini aku membicarakan hatiku lagi dengan Emma. Orang yang baru kutemui beberapa hari lalu namun rasanya bisa kupercaya seumur hidupku.
Wanita itu tak bicara apa-apa. Tangannya hanya pelan menarikku dalam pelukannya. Lalu seketika rasanya seakan ada yang melepas rantai yang sedari tadi menggantung leherku.
"Aku merindukan dia." Kataku berusaha menghilangkan nada sakitnya disana.
"Justru aneh jika kau tidak merindukannya." Ucapnya mengelus rambutku lembut.
"Apakah menurutmu itu wajar?"
"Tentu saja. Ia ibumu." Katanya membuatku mendorongnya menjauh dan menghindari tatapannya.
"Aku tak lagi merasa ia ibuku." Kataku tahu akan mendapat sanggahan dari wanita di sampingku.
"Ia tetap ibumu. Dia berusaha melindungimu. Kau tahu itu."
"Kau tidak tahu. Ia memiliki cinta yang gelap untuk ayahku."
"Setiap orang memiliki cara mencintai orang yang dicintai, Harry." Kata Emma membuatku terdiam agak lama memikirkan perkataannya.
"Jadi menurutmu dia benar?" Simpulku.
"Aku tidak bisa mengatakan dia benar. Pun aku juga tidak akan mengatakan ibumu salah."
"Aku tidak mengerti." Ucapku menatapnya bingung. Namun, Emma menjawabnya tersenyum.
"Terkadang cinta bukan hanya tentang memberi dan menerima, Harry. Tetapi, mempercayakan memberi satu-satunya yang kau miliki." Jelas Emma. Namun, tak kunjung jelas di otakku. Aku diam lama untuk berpikir dan mencerna perkataannya lagi.
"Ibuku mempercayakan satu-satunya yang ia miliki pada orang yang salah." Simpulku. Kali ini Emma diam tak meresponku.
Sementara pikiranku berkelana jauh memikirkan ibu. Apa yang ada dipikirannya hingga ia begitu bodoh? Tanyaku dalam hati.
"Apakah menurutmu ibuku bodoh?" Tanyaku pada Emma.
"Semua orang bodoh jika tentang cinta." Jawabnya begitu ceria. "Cinta itu seperti sihir, Harry. Suatu hal yang tak terduga dan tak bisa dipahami. Keajaiban dengan segala bentuk resiko yang sungguh besar." Lanjutnya justru dengan rasa kagum.
Aku tak mengerti letak kekagumannya. Yang ia katakan justru membuatku takut.
"Aku tak menyukainya jika begitu." Kataku. Memandang lagi danau tenang yang membosankan. Diam-diam berharap lebih baik memiliki hidup membosankan dari pada yang seperti ini.
"Kenapa? Bukannya indah?"
"Kau membicarakannya seakan ia adalah sebuah virus mematikan yang tak diketahui." Ucapku.
"Mengapa kau selalu menghubungkannya dengan hal yang menyakitkan seperti itu?" Tanyanya tak terima. "Cinta itu dimana kau akan melakukan segala hal untuknya, berkorban untuknya. Bahkan mati untuknya. Dan itu sangat indah."
Aku diam. Definisi cintanya persis seperti kelakuan ibuku.
"Kupikir indahmu dan indahku itu berbeda." Balasku. Emma mendengus kesal.
"Ku pikir kau harus kembali ke rumah itu." Katanya berubah muram. Hal yang tak ingin aku dengar akhirnya terucap juga di bibirnya.
"Tidak." Jawabku. Berharap itu dapat menutup percakapannya. Namun, Emma justru memegang kedua bahuku dan menarikku menghadapnya. Ku pandang mata hijau agak kebiruannya. Mata yang indah yang mampu membuatku percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja dengan hanya tatapannya.
"Harus. Ia ibumu. Dia membutuhkanmu, Harry."
"Dia bilang tak perlu lagi aku melindunginya." Kataku. Emma mengangkat alisnya.
"Aku rasa saat itu ia hanya mau melindungimu. Tapi, saat ini seharusnya kau kembali. Pasti kau ditunggu olehnya. Sudah tigahari," katanya meminta pengertianku. "Kau harus sekolah 'kan?" Tanyanya seperti mendapat alasan penting mengapa aku harus pulang.
"Aku tidak butuh sekolah."
"Butuh!" Serunya. "Aku ingin sekolah tapi tak bisa. Kau yang sekolah, maka harus sekolah. Kau tidak bisa hidup nanti."
"Aku bisa hidup disini saja bersamamu." Ucapku otomatis. Emma mengerutkan dahinya dalam. Lalu menggeleng tak setuju.
"Tidak bisa. Kita 'kan butuh uang. Jila kau sudah besar, kau akan mengerti."
"Aku sudah cukup mengerti." Kataku teguh pendirian. Namun, Emma tak mau mengerti arti perkataanku.
"Coba katakan; apa saja yang sudah kau mengerti?" Tantangnya. Aku diam sejenak. Memikirkan jawaban yang bagus. Tapi, Emma justru berpaling beranggapan aku tak tahu jawabannya.
"Banyak yang harus dipahami, Harry. Kau tujuh tahun dan aku tak menyangkal bahwa aku mengagumi kedewasaanmu hingga membuatku selalu terkejut. Tapi, masih banyak yang harus kau mengerti." Katanya memandang danau tenang itu.
"Emma," ujarku mengalihkan pandanganku pada danau yang sama. Emma kembali bergumam namun kini matanya memandangku lagi. Rambutnya yang berwarna coklat kayu itu tertiup angin mengganggu wajahnya. Tangannya bergerak menyampirkannya di belakang telinganya.
Tak sadar aku jika selama ini yang indah itu sangat dekat. Aku masih sibuk mencarinya dan memikirkan noda yang membuat rasa pilu. Tanpa mengerti sama sekali dan peduli.
Apakah ini terlalu cepat? Apakah ini wajar? Pertanyaan itu terulang terus di otakku.
Tapi kini aku tahu apa yang sekarang aku ketahui. Tak paham apakah ini benar atau salah. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan saat ini. Rasanya aku seperti burung yang baru bisa terbang karena baru mengetahui bahwa aku punya sayap.
Dan sekarang tak peduli apa yang akan terjadi nanti. Namun sekarang adalah sekarang.
Cinta itu seperti sihir, Harry. Suatu hal yang tak terduga dan tak bisa dipahami.
Cinta itu dimana kau akan melakukan segala hal untuknya.
Coba katakan; apa saja yang sudah kau mengerti.
Kini aku tahu apa yang sekarang aku ketahui. Tak paham apakah ini benar atau salah. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pahami....
"Aku mencintaimu, Emma. Itu yang aku mengerti," ucapku membuat Emma diam tak berkutik.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...