Datang, datang dan saksikan.
Lalu dengar, dengar kemudian senandungkan.Aku bernyanyi sambil mengangumi hasil kerjaku. Mahakarya milik siapa yang akan menandingi kesempurnaan milikku, pikirku.
Mulutku tersenyum. Mataku memandang satu-persatu tubuh telanjang itu dengan begitu puas diiringi kebanggaan di sana.
Aku kembali bernyanyi,
Di sana ada pria berikut dengan wanitanya.
Mereka bilang ada yang bunuh diri dekat telaga.Gantung masal, mereka berkata.
Sial, sial.
Dewa telah mencabut nyawanya.Aku berdecak sembari melangkah mundur lalu mengangkat tanganku di depan wajah sambil menimbang-nimbang potret dari sudut mana yang akan terlihat lebih bagus.
Sudut kanan harus lebih rendah dibanding kiri, pikirku. Dupuluhtiga derajat sudah cukup sempurna.
Hal itu akan membuat tubuh mereka tampak lebih mempesona.
Tidak, gelengku.
Kepala wanita yang berada di ranting depan tidak terlihat. Aku mengangguk-angguk kepala dengan bahagia.
Ayo, ambil talimu.
Ikatkan pada lehermu.
Mati, mati.
Kita harus melompat.
Ayo, melompat dan mati.Tempatnya akan menjadi saksi.
Tragedi bunuh diri masal di telaga.
Oh begitu indahnya...Aku melangkah ke kanan sembari masih berpura-pura seperti melihat kanvas. Ku arahkan pada pohon besar yang dinaungi mayat-mayat itu.
Bukan sudut yang bagus, putusku kembali ke tempat semula.
Berpikir bahwa pemandangan di belakang pohon kurang menaikkan nilai keindahan karyaku.
Aku memandang lagi dengan lebih teliti. Memanggut-manggut ketika kupikir sudah lebih bagus. Mereka telah kuatur dengan sangat baik dan di tempatkan pada yang kokoh. Karena sebelumnya, di antara mereka justru jatuh dari ranting itu.
"Kau mati atau hidup?" Tanyaku kesal saat tubuh tak bernyawanya tergeletak di bawah. "Jangan seinci pun bergerak! Jika masih kau lakukan, akan aku potong tubuhmu." Perintahku lalu mengangkatnya lagi dengan susah payah menaiki ranting.
Ku atur rambutnya sedemikian rupa. Begitu pula dengan tangannya. Posisi melentik akan terlihat lebih anggun, menurutku. Maka kuposisikan jemarinya sedemikian rupa.
Tidak bisa. Telunjuknya masih terus jatuh.
Ku tekan paksa telunjuk dingin itu hingga terdengar suara nyaring tumpul dari dalam. Aku rasa tulangnya patah.
Nah, sekarang telunjuk itu sudah berhenti jatuh.
Aku menyeringai puas. Kembali turun dan menepaki tanah. Kemudian mundur untuk menilai hasilnya dari kejauhan.
Terlalu monoton. Tidak bagus. Kaki mereka terlihat begitu panjang. Aku menangguk-angguk dengan irama di benakku. Melanjutkan nyanyianku,
Di sana ada pria berikut dengan wanitanya.
Mereka bilang ada yang bunuh diri dekat telaga.Gantung masal, mereka berkata.
Sial, sial.
Dewa telah mencabut nyawanya.Seorang Harry Styles tidak bisa menghasilkan karya yang akan mudah ditebak si penglihatnya.
Aku pikir jika wanita lain yang berada di ranting ketiga di jatuhkan, akan terlihat baik. Lalu aku harus menggeser kaki wanita kedua agar terangkat seperti menaiki kayu.
Kakiku maju lagi mendekat dan memanjat. Ku dorong mayat yang berbeda dan suara berdebum lantas terdengar.
Kembali kuposisikan tubuhnya seperti yang lain. Lalu merubahnya lagi ketika aku berubah pikiran.
Ia harus bersujud, pikirku. Posisi sujud akan sesuai dengan aura mereka. Satu gambar yang akan menceritakan seribu makna.
Tidak, tidak. Dia harus meringkuk.
Meringkuk terlihat lebih baik. Seperti diriku yang dulu meringkuk dan bersembunyi di lemari kecil setiap malam.
Ini akan menjadi sempurna! Aku kembali melanjutkan nyanyianku hingga selesai.
Gantung masal, mereka berkata.
Sial, sial.
Dewa telah mencabut nyawanya.Ayo, ambil talimu.
Ikatkan pada lehermu.
Mati, mati.
Mari bersama-sama.
Kita akan melompat.Tempatnya akan menjadi saksi.
Tragedi bunuh diri masal di telaga.
Begitu indahnya...Ayo, ambil talimu.
Ikatkan pada lehermu.
Mati, mati.
Kita sudah melompat.
Oh begitu indahnya....
Oh begitu bahagianya....Akan aku panggil pelukis untuk menggambar mereka. Ku pesan kanvas paling besar yang ia miliki. Lalu akan aku pajang figura mereka di ruang utama istanaku. Tepat di tengahnya. Mata siapapun yang melintasi daerah terdekat akan langsung melihatnya.
Tiada satupun manusia yang akan melewatinya dengan sambil lalu. Akan aku pastikan mereka melihat hasil karyaku dalam memposisikan mayat budak-budak itu. Jika perlu, berdiri di depan lukisan itu dan memelototinya.
Mereka akan terkesan. Saking terkesannya, akan ada setiap detik di kepala mereka memikirkan bagaimana cara lari dari jeratku.
Salah, mereka itu.
Tidak ada yang akan berakhir sebelum aku yang mengakhirinya.
Akan aku pastikan itu.
θθθ
A.n : Maaf banget menganggu momen Ramadhan dengan mulmed yang seperti itu._.
Jangan dipandang vulgarnya yaa. Tapi, nilai seninya.
Kira-kira, seperti yang di mulmed itulah situasinya(:
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...