"Aku tidak ingin kodok. Aku hanya ingin Emma." -H
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya seorang gadis kecil yang dengan tidak sopannya telah memukul bahuku tadi. Suaranya begitu tinggi dan runcing. Semua orang akan setuju bahwa tipe-tipe seperti suaranyalah yang harus di enyahkan karena terlalu berisik.
"Maaf, nona. Tapi, apa urusanmu?" Tanyaku berusaha sesopan mungkin meladeninya.
"Oh, Demi Zeus!" Serunya dengan dramatis mengangkat kedua tangannya di udara. "Tuan muda, kau lihat rumah itu?" Tanyanya sambil menunjuk sebuah rumah besar. Tidak, gumamku. Itu istana. "Itulah tempat tinggalku." Lanjutnya dengan raut wajahnya yang seperti sedang berada di atas awan.
"Apakah kini kau mencoba memberitahuku dimana kau tinggal?" Dengusku siap pergi kapan saja dan mencoba tak mau berurusan dengan gadis di depanku yang kini mulutnya terbuka membesar tak percaya.
"Oh, yang benar saja! Tentu saja tidak." Tangannya kini bergerak menekan dadanya. "Aku? Memberitahumu informasi sepenting itu? Mana mungkin, Tuan! Kau orang asing, bagiku." Katanya membulatkan matanya.
Tidak pernah aku bertemu seseorang dengan kepribadian seperti ini, pikirku.
"Itulah rumahku. Dan kau tahu?" Matanya melirik kakiku yang tak beralas dengan jijik. "Eh--tuan, tanah yang kau injak dengan kaki kotormu itu adalah tanahku. Kau mengerti maksudku, 'kan?" Tanyanya. "Ini wilayah milikku. Kau telah memasuki wilayah mi-lik-ku." Lanjutnya sengaja memperlambat kata terakhirnya. Memastikan aku tidak ketinggalan kata penting itu.
"Baik. Lagipula, aku tidak keberatan jika harus pergi, selamat tinggal." Kataku membuatnya kembali terbelalak. Mengapa ia selalu melakukannya?
"Tidak-tidak. Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaanku, 'kan? Aku bertanya-tanya dimana sopan santunmu saat ini." Ucapnya. "Jadi, apa yang kau lakukan disini?" Tanyanya.
Jadi, apakah ia harus tahu? Tidak. Sudah jelas aku tak akan mengatakannya.
"Mencari kodok." Jawabku asal. "Bolehkah aku pergi, tuan puteri?" Tanyaku menahan rasa kesal.
"Kodok?" Beonya. "Apakah kau menemukannya?"
"Tidak." Gumamku ingin cepat melarikan diri. Tapi, yang ingin dijauhi tak tahu diri.
"Aku memaafkanmu, kalau begitu. Tenang saja." Katanya. Padahal aku tidak pernah memohon memintanya memaafkanku, ingatku. "Siapa namamu?" Tanyanya.
Untuk apa ia bertanya soal namaku? Toh, aku rasa aku tak akan bertemu dengannya lagi lain kali. Akan aku pastikan untuk hal yang satu itu.
"Edward," jawabku sekenanya. Justru nama tengahku yang terpikirkan.
"Aku Katherine Eyre." Jawabnya tanpa ditanya. "Dan, Edward, berarti aku punya kabar baik, untukmu. Aku juga suka menangkap kodok!" Teriaknya dengan mata berbinar. "Jika mencarinya disini, kau salah tempat. Aku tahu kemana kau harus pergi. Ayo ikut aku! Kita tangkap sama-sama." Katanya semau-maunya sambil melompat kegirangan lalu berlari menyuruhku untuk ikut berlari di belakangnya.
Jika ia menyangka aku akan mengikutinya semudah itu, berarti ia salah. Aku punya urusan yang lebih penting. Hal yang harus cepat aku selesaikan saat ini.
Mencari Emma. Entah kemana arus membawanya. Aku tahu saat ini, yang menjadi prioritasku adalah Emma dan aku harus menemukannya.
Aku tidak peduli pada gadis aneh itu. Aku tidak kenal dia. Dan merasa tidak harus mengenalnya. Tidak peduli jika ia harus kesal karena mendapatkanku tak ada di belakang untuk mengikutinya, untuk mengejarnya, dan menangkap kodok bersamanya.
Aku tidak suka kodok. Dan tidak ingin kodok.
Aku hanya ingin Emma. Ialah penentu hidup dan matiku saat ini, dan mungkin, untuk selamanya.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Tarihi Kurgu[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...