"Suatu penghalang yang tidak tampak rasanya telah menjadi pembatasku dengan dunia lain." -H
Apakah Emma tidur, tanyaku. Aku tak akan memanggilnya. Takut jika ia tak mau bangun.
Tapi ayah masih disana. Pria itu menyeringai padaku dengan bangga dan angkuh disana. Mungkin ia menungguku bertepuk tangan. Wajahnya menunjukan seakan ia baru saja menyelamatkan sebuah negara.
Aku tak mau bertepuk tangan untuknya. Aku ingin mencakar wajahnya!
"Beginilah, Harry." Katanya menghampiriku. "Beginilah cara menghadapi wanita yang mencuri hatimu." Tangannya melepas ikatanku. Sesaat mataku tak berhenti memandang wajah tanahnya itu. Aku ingin meludahinya. Keinginan untuk memperlakukan ia sama seperti ia memperlakukan ibu dan Emma! Apakah aku harus melakukan hal yang sama agar dia merasa sakit?
Tapi, aku menemukan diriku tak akan puas jika ia hanya merasa sakit. Aku ingin ia mati. Agar dikirim ia ke neraka tempat dimana seharusnya ia berada.
"Urusi mayatnya," katanya membuatku akan jatuh berlutut dari kursi jika saja tangan kotornya tak mencengkram bahuku.
Mayatnya, katanya.
Dia itu Emmaku!
Rasanya benakku terjun bebas, berputar tanpa kendali. Tak mampu menangkap hal yang tak mungkin karena Emma tak mungkin mati!
Bukti-bukti yang ditunjukkan semua inderaku pasti berbohong. Ia berdusta, mereka berdusta.
Tapi, Emma tak bergerak disana, pikirku. Tak bergerak dan tak ada tanda kehidupan yang ia berikan untukku.
Ku temukan batinku berteriak membentak. Bangun, kataku. Mengapa kau diam disana?
Aku kini berharap bisa melepas dadaku yang rasanya sakit dan tersiksa seperti ditiban oleh kapal perang yang sangat besar.
Aku ingin merenggut jantungku, bagian-bagian dalam tubuhku, semua yang menjerit di dalam diriku. Mengapa mereka semua menejerit, aku bertanya-tanya.
Emma baik-baik saja. Ia tak apa-apa, kataku dalam hati.
Namun, aku merasa sesuatu dari diriku jatuh, jatuh dalam ke bumi. Meninggalkan diriku untuk selamanya.
Emma tak mungkin mati. Tidak mungkin.
Tak ada bisikan menghibur dalam temaram dan cahaya bulan saat ini, bahwa ini semua hanya ada dalam imajinasiku. Ilusi. Pandangan yang menyesatkan.
Aku tak percaya, aku tak mau mempercayainya!
Mengapa pria itu berbohong padaku? Mengapa ia mengatakan hal yang sangat menyayat hatiku?
Kini aku merasa lebih sendirian dibanding yang pernah aku alami sebelumnya.
Biarkan rasa sakitnya berhenti, pikirku. Biarkan ia membunuhku saja saat ini. Hentikanlah, mohonku. Kematian bukan apa-apa dibanding ini.
Namun, pria itu melangkah pergi. Meninggalkanku pada kelabu dan kesuraman. Meninggalkanku dengan rasa sakit dan amarah.
Rasanya tak tertahankan. Aku tidak mau memikirkannya, aku tak akan merasakannya!
Ada kehampaan yang mengerikan di dalam diriku yang tidak ingin aku rasakan atau kuperiksa. Suatu lubang gelap dimana seharusnya ada Emma disana. Namun, kini lubang gelap itu kosong. Dan rasanya sangat parah hingga tersiksanya aku tak mau berdiam di ruangan hening itu sendirian. Aku tak bisa menerimanya. Tak mau.
Aku tak akan berbicara. Tak mau memohon dan menerimanya. Mengatakan segalanya hanya akan membuatnya mutlak, selesai, dan tak bisa ditebus lagi.
Aku tak bisa membiarkan itu terjadi.
Urusi mayatnya, katanya.
Urusi mayatnya.
Kalimat itu terus terulang. Berputar seperti lagu kematian. Mengeroyokku hingga aku harus jatuh. Tergeletak dan tak kuat bangun.
Aku tak tahan menjadi diriku. Aku belum pernah begitu merasa terperangkap pada kepala dan pikiranku sendiri. Aku tak pernah berharap begitu luarbiasanya untuk menjadi orang lain. Siapapun itu, aku ingin bertukar untuk kali ini saja. Siapapun, yang lain, asal bukan diriku.
Rasa sakit ini tidak nyata, gumamku. Ini palsu dan hanya imajinsasi. Khayalanku. Ilusi.
Aku menutup mataku. Membenamkan tanganku ke dalam tanganku. Beginilah pada akhirnya, pikirku. Bahagiaku yang mengenaskan kini telah berakhir. Tak ada bahagia lagi. Ia telah meninggalkanku. Tergeletak di sana tanpa nyawa. Semua salahku, gumamku. Jika saja aku bersih keras tak mau ia ke rumahku, jika saja aku bisa lebih tegas, ia pasti tengah tersenyum di rumahnya yang sederhana saat ini. Kulitnya tak akan menjadi sepucat itu dan raut wajahnya tak akan menjadi sedatar itu.
Emmaku,
Kepalaku berdenyut dengan lebih menyakitkan. Ku paksakan diriku untuk bangun menghampiri Emma. Ku sentuh pipinya bahkan mungkin untuk terakhir kalinya. Kubiarkan tetesan air mataku membasahinya.
Wanitaku, gumamku.
Kini, aku merasakan suatu penghalang yang tidak tampak rasanya telah menjadi pembatasku dengan dunia lain.
Waktu yang berlalu sejak aku menatap mata Emma yang berbinar kini telah menjadi batas hidupku dengan matanya yang kini tak dapat terbuka dengan kehendak dirinya.
Waktu itu terentang dua alam, dua kehidupanku. Satu dengan kebahagiaan bersama Emma dan satunya lagi tanpa kebahagiaan dan tanpa Emma didalamnya.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Ficção Histórica[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...