"Aku rasa aku aneh, Emma." -H
Aku menemukan diriku tak kuat lagi jika harus menghadapi kenyataan buruk lainnya. Tapi, kini mataku menangkap cahaya itu. Gaun putih terangnya yang mengambang di atas danau mampu menyadarkanku untuk tetap bergerak dan menghampirinya.
Emma, gumamku dengan lembut. Namun yang dipanggil tidak menjawab.
Mataku memandangnya seakan tak memiliki objek lain yang pantas untuk dipandang. Kulitnya begitu pucat dari yang terakhir kulihat. Bibirnya tak seputih itu, tadi. Tapi, rasanya tetap sama. Aura Emma tak akan hilang dengan mudahnya. Aku tahu, karena rasanya aku tak akan bisa melupakannya mulai sekarang.
Tidak apa, kataku.
Emma pantas dikenang. Dirinya pantas untuk dicintai setidaknya oleh satu orang. Lalu aku teringat William. Bagaimana ia bisa tahan mengetahui adiknya mati? Pikirku dengan menderita.
Tidak, gumamku. Aku yang lebih tidak bisa tahan melebihi semua orang di dunia ini mengetahui kematiannya.
Emma yang begitu tenang disana membuatku tidak tega untuk mengganggunya. Jadi, kuputuskan untuk hanya berjalan lebih mendekat dan duduk pada jembatan kayu ini. Aku ingin menemaninya. Menatapnya sambil berpikir betapa akan tambah bahagianya aku jika ia akan bersamaku selamanya.
Aku menunduk sedih. Sementara rintik hujan mulai berjatuhan. Malam ini begitu sempurnanya untuk dijadikan sejarah hidupku yang begitu kelam, gumamku. Semua aspek di alam ini mendukungku dengan luarbiasanya. Dan Emma tetap terdiam disana. Matanya yang tertutup seakan dengan serius memandang langit di atasnya. Aku mengikutinya. Ku rebahkan tubuhku pada kayu yang keras dan menatap angkasa. Bulir-bulir hujan yang berjatuhan membasahiku perlahan dan tidak kupedulikan sakitnya yang seakan tertusuk jarum.
Bukan karena hujan, pikirku. Setelah semua ini pastilah begini rasa sakitnya.
"Emma," kataku. Yakin di suatu tempat ia dapat mendengarku. "Apakah kau merasa tidak adil sama sepertiku? Aku merasa tidak adil, Emma."
Hujan semakin deras meredam suaraku. Airnya masuk kedalam mulutku namun tak kupedulikan jika harus tertelan.
"Ibuku." Kataku. "Mengapa definisi cintamu persis seperti yang dilakukan ibuku? Apakah semua manusia seperti itu? Jika iya, aku rasa aku aneh, Emma. Karena aku tidak menyukainya. Sama sekali tidak menyukainya.
"Tapi, Emma. Apakah aku akan melakukan hal yang sama jika kau masih hidup? Akankah aku bertindak sama sepertinya?" Tanyaku lalu diam sejenak. Menatap awan kelabu dan langit hitam yang gelapnya hingga menutupi pikiranku.
"Aku tidak akan pernah tahu, aku rasa. Kau telah mendapatkan semua yang aku miliki dan membawanya dengan kematianmu." Ucapku. "Kau harusnya merasa bersalah, wanita." Lanjutku kesal berharap mendengar suara tawanya. Namun, yang kudengar hanyalah kehampaan dan gemuruh hujan yang di jatuhkan dari langit. Sama sepertiku, pikirku.
Aku baru saja terdampar habis dijatuhkan dari langit. Yang rasanya seribukali lebih sakit dari cambukan.
"Kau harus tetap tinggal, Emma." Kataku menahan dorogan untuk menangis. Atau aku memang sudah melakukannya, pikirku. Mataku terasa begitu panas saat ini.
"Setidaknya kau berhutang itu padaku." Ucapku lagi. "Jangan tinggalkan aku."
Kilatan guntur terlihat lalu suaranya baru sampai di telingaku sesudahnya. Hujan begitu derasnya seperti tangisku.
Tak ada yang melihat, pikirku. Tak apa jika ingin menangis. Tidak apa jika harus menangis kali ini.
Langitnya begitu kelam berbeda dari biasanya atau hanya perasaanku, tanyaku. Rasanya malam ini begitu dingin dan sepi.
Jangan tinggalkan aku.
Aku terus menggumamkan kata itu berharap Emma akan mendengarnya. Terus bergumam seakan merapalkan doaku untuknya.
Jangan tinggalkan aku, kataku.
Perkataan yang begitu naif dan bodoh. Terlalu menggantungkan kepercayaanku pada angan-angan semu. Terlalu mempercayai bayangan ilusi yang nampak begitu nyata.
Begitu bodohnya dan putus asanya....
Aku sampai tidak tahu apa-apa.
Tidak tahu jika aku sampai tertidur di tengah hujan yang ganas, sendirian di tengah malam di temani Emma.
Tidak tahu bahwa ternyata tak akan ada yang menuruti permintaanku saat ini.
Tidak tahu kenyataan apa yang harus aku terima keesokan harinya.
Aku tidak tahu jika saat aku bangun, ternyata Emma telah meninggalkanku.
Ia meninggalkanku selamanya untuk yang kedua kalinya.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...