"Gadis ini benar-benar membuatku tak percaya sedemikian rupa." -H
Hari ini langit cerah menampakkan awan seputih kapas. Angin tak terlalu berhembus kencang. Musim akan memasuki tempat matahari akan bersinar cerah. Namun, keindahannya tak akan lagi sehangat musim semi yang lalu saat jiwaku masih menetap ditempat seharusnya.
Aku duduk beralaskan rumput dibawah pohon berakar yang jalarnya hingga kemana-mana. Mataku tak bosan memandang ladang rumput yang terhampar luas menyilaukan penglihatan.
Suara burung terdengar tengah mencicit merdu tanpa sang pengganggu. Namun, setelah itu beberapa saat yang kukagumi menjadi sekedar angin lalu.
Karena si penganggu datang pada akhirnya dengan hati yang termelenggu.
"Aku tak melihat Hamlet." Jelasnya sambil merengek membuatku menghela napas pendek.
Tak pakai sopan santun, ia langsung menjatuhkan tubuhnya di sebelahku.
"Paling-paling dia hanya pergi ke suatu tempat." Decakku membuat tangisannya justru lebih kencang.
Duh, hilang sudah pagi indah nan damai milikku.
"Tidak mungkin! Hamlet tidak mungkin pergi!" Teriaknya membuatku berniat menyumpal telingaku dengan suatu benda yang membantu agar gendang telingaku tak pecah.
Aku meringis lalu berucap, "maksudku, dia mungkin pergi sebentar dan akan kembali."
"Tidak!" Sanggahnya naik pitam. "Barang-barangnya hilang. Musnah. Ruangannya kosong, Edward! Hamlet telah pergi. Dia meninggalkanku." Katanya terus menangis membuatku diam sejenak untuk bertanya-tanya.
Aku belum bertemu dengan Tuan Sigrid. Memang, aku jarang bertemu dengannya di rumahnya sendiri. Namun, untuk kali ini setidaknya ia berubah menjadi sosok yang lebih miaterius dari yang aku duga sebelumnya.
"Tuanku memang sangat marah semalam, Edward. Ia marah pada Hamlet." Rengek Katheline lagi.
"Maksudmu, Tuan Sagrid telah mengusir--" kukatupkan mulutku dan menggantinya dengan, "menyuruhnya pergi dan tidak--"
"Bukan!" Jeritnya memotong perkataanku. "Hamlet mati, Edward." Tangannya bergerak menutup wajahnya. "Ia meninggalkanku dan mati." Tangisnya. Suaranya teredam dengan telapak tangan. Tapi, aku yakin ia berkata seperti itu. Gadis sepertinya memang sosok yang gampang ditebak. Pikiran pendeknya membuatku menghela napas kasar.
"Kau berlebihan." Kataku sambil lalu.
"Tidak! Aku tahu pasti hal itu akan terjadi. Ini kedua kalinya Tuan Sagrid marah karenanya. Yang pertama pun itu karena Hamletku. Dan--dan--"
Ia tak mampu melanjutkan perkataannya lagi. Tangisannya semakin kencang dan pernafasannya tak teratur. Mataku memperhatikannya. Bahunya naik turun dan dia seperti kelelahan sendiri acap kali ia bicara.
"Tuan Sagrid telah membunuhnya." Rengeknya tak tertahankan. Baru pertama kali aku mendengar ia menyebut nama tuannya. Biasanya ia akan berkata Tuan, atau Tuanku.
Dan mendengarnya mengucapkan nama itu, membuatku hampir berpikir bahwa dia benar-benar serius kali ini.
Tanganku bergerak menyentuh puncak kepala Katheline. Tak tahu apa yang tanganku lakukan saat ini. Namun, rasanya ada yang mengendalikan mereka dengan mistis.
"Tidak usah menjadi orang tak waras. Tidak mung--"
"Mungkin!" Teriaknya sembari mengangkat kepalanya. Matanya melotot memandangku dengan geram.
Aku menghembuskan napas kasar, "terserah mulutmu bicara apa." Kataku meletakkan kembali tanganku di samping tubuhku.
Katheline tak bicara lagi. Ia sibuk sesenggukkan dengan tangisannya yang hebat tak mencerminkan wanita anggun manapun. Gadis itu tak lagi menutup wajahnya yang basah alih-alih memeluk lutut dengan menyedihkan.
"Tuan Sagrid itu sebenarnya siapamu?" Tanyaku pelan.
Gadis itu tak menanggapiku. Mungkin ia tak mendengar, atau tak sedang ingin bicara sekarang. Atau ia marah, mungkin. Tidak peduli aku. Pikiran kekanakannya itu---
"Ia tuanku." Jawabnya seketika dengan suara jeleknya yang tak memberi perbedaan.
Aku menahan untuk mengatakan, "kau bodoh atau apa?"
Setidaknya, aku menghargai jika ia masih bicara ditengah tangisannya yang tak berdasar sekarang.
"Aku tahu ia Tuanmu. Maksudku, apakah kau sama sepertiku? Di temukan olehnya?" Sudah lama aku berpikiran seperti ini.
"Bukan," jawabnya dengan suara serak.
Aku menunggu ia berbicara lebih lanjut. Namun, yang ia lakukan hanya menarik lendir dalam hidungnya dan terus menangis. Jika begini caranya, walaupun ia sering membuatku jengkel, aku tak akan tega terus bertanya.
Menit kemudian yang dihabiskannya hanya seperti itu. Sementara otakku berpikir dengan ganasnya.
Siapa Tuan Sigrid? Kesalahan apa yang dilakukan Hamlet hingga ia mati? Apakah ia benar mati? Mengapa rasanya tidak mungkin? Apakah perawakan Tuan Sigrid seperti itu? Mengapa rasanya tetap tidak mungkin? Mengapa---
"Edward," ujar Katheline menolehkan kepalanya memandangku.
Matanya memerah. Juga hidungnya. Ucapannya selanjutnya membuatku ingin menoyor kepalanya jika saja ia bukan seorang gadis yang harus menjaga martabatnya. Walau ia telah gagal melakukannya.
"Ayo kita berburu kodok. Akan aku buat rekor baru. Aku ingin menangkap mereka sebanyak-banyaknya hari ini." Ucapnya membuatku memutar bola mata kembali. Tak peduli jika tak sopan. Gadis ini benar-benar membuatku tak percaya sedemikian rupa.
Anehnya, aku berdiri.
Menawarkan tanganku untuk membantunya bangun. Katheline mengamitnya dan kita melangkah beriringan dalam diam. Tak ada suara selain lendir hidung gadis itu yang membuatku mendengus jijik. Anehnya, aku tak terlalu keberatan.
Anehnya lagi, kami berjalan tanpa melepas pegangan tangan.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...