"Lagi-lagi aku menemukan diriku merana. Menengok dalam hati bahwa aku tak benar-benar meninggalkan apa yang seharusnya aku tinggalkan. Aku menelan semuanya dan menggenggamnya di tenggorokanku. " -H
"Tuan Styles!"
Suara berat itu menyambut sesaat pintu ganda besarnya dibuka oleh dua pelayan wanita. Terlihat seorang pria berumur limapuluhan yang tak asing lagi dikehidupanku tengah membawa gelas berisi anggur di tangan kirinya.
"Akhirnya kau datang juga. Aku kira kau menjauhiku belakangan ini." Katanya sembari mengajakku duduk di sofa megah di ruang tamunya. Tangan kanannya terangkat mengintruksikan pelayan lain untuk menyuguhkanku sesuatu.
"Aku tak menjauhimu, Slager." Bantahku. "Aku sibuk mengerjakan urusanmu."
"Urusan!" Sentaknya. "Urusan semacam itu tak boleh dijadikan alasan untuk tidak menemuiku, Tuan Styles. Sekarang katakan padaku. Sudah sejauh mana urusan itu melebar?" Sindirnya.
"Slager," tegurku. "Aku menghormatimu karena kau pernah membantuku. Namun, jangan dikira aku tak berani untuk--"
"Tunggu dulu! Bukan bermaksud menghinamu, Tuan Styles. Namun, aku dengar dari sana-sini, kau tahu? Desas-desusnya masih tercium."
"Kalau begitu hal seperti itu tidak akan bertahan lama!" Bentakku lalu bangun. "Aku pergi!" Kataku menghampiri pintu keluar.
Sontak, Slager langsung bangun dan mengejarku. "Mengapa buru-buru, Tuan Styles? Kau belum mencicipi anggur terbaruku!" Katanya tertawa lalu suaranya menghilang sesaat pintu membanting tertutup di belakangku.
Sialan.
Jadi mengunjungi pria tua itu justru membuatku tambah marah. Jika saja aku tak merasa berhutang budi padanya, sudah aku potong setiap bagian tubuhnya menjadi serpihan kecil.
"Cubicle Park!" Bentakku kepada George yang berdiri di samping kereta untuk membawaku pulang ke rumah.
Dengan sigap, ia menurutiku lalu menarik tali kekang kuda ketika aku sudah berada dalam kereta.
Cubicle Park yang kubangun dekat perairan dengan uangku sendiri telah menjadi tempat tinggalku selama tujuh tahun.
Entah mengapa nama yang kuambil adalah Cubicle yang mengingatkanku pada bangunan kandang manusia milik Tuan Sagrid.
Tidak!
Bukan karena itu alasan aku menamainya. Aku hanya merasa begitu cocok dengan sebutan yang memberiku alasan untuk mengurung wanita busuk itu di rumah.
Lalu perkataan gadis berambut pirang itu menghantui pikiranku.
"Kau ingin menjemputnya 'kan, Edward?" Tanyanya tersenyum pilu ketika aku memutuskan untuk menyambangi rumahnya lagi sepuluh hari yang lalu. "Kau ingin membawanya ke tempat dimanapun kau tinggal sekarang. Kau boleh mengambilnya. Ia ibumu dan aku telah menjaganya semampuku." Sambungnya membuatku ingin menampar pipi putih pucatnya.
Katheline berdiri di hadapanku kala itu. Tinggi tubuhnya menyamai bahuku. Aku hampir lupa pada wajah yang telah berbeda ketika aku meninggalkannya limabelas tahun silam.
"Dia bukan ibuku." Sanggahku namun yang diajak bicara hanya mengangguk-angguk paham tetapi tersenyum mengejek.
"Aku tahu, Edward. Kau masih peduli padanya 'kan? Beredar banyak gosip di Britania ini. Kau yang kejam, bengis, kasar." Ucapnya dengan nada berangan-angan. "Tapi, aku tahu satu hal tentangmu. Kau tak perlu repot-repot berlakon di hadapanku, Edward. Aku mengenalmu."
"Kau tidak." Sanggahku. "Manusia berubah, Katheline. Dan bila kau terus mengucapkan kalimat bodoh, aku tak segan untuk memaku mulutmu dengan papan." Ancamku namun Katheline tertawa girang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Ficção Histórica[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...