"Mereka perlahan akan sadar bahwa aku adalah aku yang tidak bisa mereka sembuhkan. Mereka lantas meninggalkan aku. Mengucilkan diriku. Melemparku jauh hingga membuatku berkumul dengan mereka yang terbuang." -H
"Master,"
Terdengar suara dominan di antara keheningan dan keburaman yang berdebat dalam otakku.
Kepalaku menoleh pada Kenya Sharp yang tergerai rambutnya. Tubuhnya ditutupi gaun putih pendek yang terlihat sederhana pada pancaran pesona. Kakinya telanjang tak terbalut alas. Beberapa tanah basah mengotori bagai menempel di batu kunci.
Mataku kembali lagi menatap perairan tenang di kesuraman malam. Anginnya berhembus kencang menerbangkan ketiadaan. Berusaha tidak mengakui keberadaan budak istimewa itu yang kini langkahan kakinya terdengar berjalan mendekat.
"Kau sedih karena pada akhirnya, ia yang kau kira tidak akan pernah pergi, kini telah berlari menjauhimu." Katanya.
Aku menulikan telinga. Menolak pikiran yang bersama-sama bersorak kata setuju di dalam otakku.
Malam begitu gelap dihiasi awan yang berkumpul menutupi cahaya bulan. Mataku terjatuh kembali pada pantulan bayanganku pada air tenang yang mematikan.
"Bukankah seseorang memang tidak pernah merasa paling kehilangan pada apa yang menetap? Seseorang akan selalu merasa membutuhkan pada apa yang terlanjur hilang."
Rambut ikal panjang yang terlihat pada air hitam itu, serta mata sendu yang mencurahkan kesedihannya pastilah bukan aku.
Hatinya telah mati hingga ia tidak lagi memiliki perasaan. Dan hati yang mati serta seseorang yang telah membuang perasaannya pada tong sampah tidak akan memiliki raut wajah yang sesedih itu seakan ia telah kehilangan jiwanya.
Bukankah jiwanya juga telah lama hilang?
Jiwa mana lagi yang ia miliki? Mana lagi yang tersisa hingga ia masih bisa merasa kehilangan satu?
Aku mememejamkan mata. Menyadari bahwa faktanya aku memang telah kehilangan satu.
Aku lantas berteriak sekencang-kencangnya. Melolong pada bulan yang tidak terlihat bagai serigala yang memuja. Ku keluarkan emosi terpendam yang biasa aku abaikan dan tidak kuakui.
Aku sedih setengah mati. Merasa tidak berguna dan dicampakkan dari langit tertinggi.
Ada apa denganku? Bagian penting mana yang telah aku lewati hingga aku tidak mendapatkan apa-apa?
Aku bertanya-tanya;
Apa yang selama ini tidak aku ketahui yang seharusnya aku tahu?
Rasanya aku sedang meraih biji yang berkumpul menyumbat dalam dadaku dan mengeluarkannya lewat kerongkonganku. Memaki pada perairan yang begitu tenang sementara aku di sini begitu merasa porak-poranda.
Dahan tertiup menimbulkan bunyi gemerisik. Suara jangkrik saling menyahut di rerumputan tinggi.
Aku merasa marah pada hal-hal yang sudah berjalan seperti biasa. Bagaimana bisa mereka tetap melakukan rutinitas mereka sementara aku di sini bahkan lupa cara untuk berjalan?
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Memprotes keadilan yang seharusnya kumiliki. Mengeluarkan habis hingga tidak tersisa lagi. Kucurahkan bagai bantingan dan ledakan yang memangku langit. Merobeknya, mengkoyakkannya hingga menghilangkan eksistensinya.
Mengapa rasanya sesakit ini, sungguh!
Lututku terjatuh mencium kerikil yang menusuk membentur tulang hingga ke ubun. Tanganku terangkat menutupi wajahku menahan bendungan yang tidak sekuat yang kukira.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...