Runaway - Chapter Sixteen

408 60 2
                                    

"Pada saat ini aku tak peduli aku hidup atau pun mati." -H

"Siapa dia, Harry?" Suara itu membuatku tersentak. Aku belum benar-benar sadar sampai ibu tengah berdiri di sampingku yang berlutut menggenggam tangan Emma.
"Apa yang terjadi dengannya?" Tanyanya. Namun tak bisa kujawab.

Aku bilang, aku tak mau mengatakannya. Aku tak butuh kata itu dikeluarkan secara lantang. Aku tak menerima kemutlakkan.

"Apakah dia---"

"Tidak!"

Perkataan ibu terpotong begitu saja dengan teriakanku yang bergetar. "Emma hanya tertidur," kataku.

Aku tak suka membohongi diri. Untuk apa membohongi diri, aku pernah bertanya.

Namun, aku menemukan diriku tak peduli.

Aku tak peduli pada harapan yang salah. Kali ini aku hanya akan mengambil jalan yang lebih mudah untuk kulewati. Aku rela memungut apa saja agar sakitnya tak seluar biasa ini. Meski harus mengumpankan diriku untuk jatuh pada dasar jurang.

Peduli setan jika aku harus bertumpu pada sepetak lantai.

Peduli setan,

Aku memandang wajah Emma lekat. Bertanya-tanya, mengapa ia begitu terlihat damai sedangkan disini aku seperti bergegas membunuh orang?

"Harry--"

"Tidak! Aku tidak mau!" Potongku lagi seakan mengerti kemana ia akan berbicara.

Ibu bergerak ikut berlutut di sampingku. Tangannya merapihkan rambut coklat kayu Emma yang menutupi wajah malaikatnya.

"Wanita yang cantik," kata ibu. "Dia lebih beruntung dari aku." Lanjutnya dengan nada pilu. Aku langsung menggeleng tak setuju.

"Wanitaku tidak beruntung. Ia bertemu ayah." Jelasku. Tanpa berbicara lebih lanjut.

"Bukan," sanggahnya. "Ia beruntung mati sekarang. Mungkin inilah bahagianya, Harry." Kata ibu menatap Emma dengan suram.

"Tidak. Bahagia Emma adalah hidup bersamaku!" Protesku memberitahunya.

"Justru itu," katanya. "Ia akan bersamamu. Justru itu," sambungnya.

Apa maksud ibu?

"Apakah ibu berpikir Emma tak akan bahagia bersamaku?" Tanyaku marah. "Apakah menurutmu aku akan berubah menjadi ayah dan menyakiti Emma seperti ayah menyakitimu?" Lanjutku berteriak lantang. Namun, ibu diam sementara aku tak habis pikir.

Mengapa ibu menyamakan aku dengan mahkluk nista semacam dia?

"Ibu," ujarku.

Ia bergumam. Tangannya meraih gaun Emma yang tergeletak sembarangan tak jauh dari jangkauannya. Lalu berusaha memakaikannya lagi pada tubuh telanjang Emma.

"Ayo kita pergi saja," ajakku. Membuat gerakan ibu terhenti seketika lalu melanjutkannya lagi tanpa menjwabnya.

"Kita berdua saja," katakku. Ibu tak menggubrisnya. "Aku tak mau tinggal disini bersama dia." Sambungku. Namun, perasaan aneh dan pemikiran tak masuk akal memenuhi diriku. Tidak, kataku. Kutepis segalanya dan teguh pada akal sehatku.

Ibu tak mungkin segila itu,

Namun, aku menemukan diriku menguji kebenarannya. Respon ibu tak seperti yang aku harapkan. Diam bukan tanda baik untuk ajakan semacam ini.

"Ibu," ujarku lagi. "Jika diantara aku dan ayah berada di ambang kematian dan kau harus memilih satu untuk bisa di selamatkan, mana yang akan kau pilih?" Tanyaku kalut.

Tak tahu mengapa aku sekalut ini. Ibu pasti memilihku, ucapku dalam hati.

Ibu menghela napasnya. Kini gaun Emma telah terpasang kembali dengan anggun. Aku berusaha menguatkan diriku menatap ibu yang kini balas memandangku dengan mata coklatnya.

"Aku memilih ayahmu." Jawabnya mampu merobohkan dindingku.

Ku cari segala kebohongan dan tipu daya di wajahnya. Namun, matanya membulat tak berkedip. Bibirnya datar tak berkedut....

Aku benar, kataku. Ada sesuatu yang luar biasa terjadi dilakukan ayah pada ibuku hingga ia nampak segila ini.

Ibu pasti sudah gila.

Aku menatap wajah ibu. Berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan pendapatku. Ruangan yang temaram tak begitu nampak terlalu gelap, tadinya.

Sekarang aku menemukan diriku justru gelagapan dengan gulita.

Apa maksud ibu menjawab seperti itu, tanyaku. Apakah telingaku bermasalah atau mulutnya yang salah?

Detik kemudian aku tak bisa membohongi diriku lagi. Aku tak bisa berpura-pura bahwa kini kondisi ibu sedang sinting. Aku sadar bahwa inilah ibu yang paling waras setelah akhir-akhir ini ia nampak begitu gila.

Kini aku mengerti arti diam itu. Enggan. Ibu enggan memilihku. Ia enggan hidup bersamaku dan merasa lebih bahagia bersama pria yang mencambuknya.

Pada saat ini aku tak peduli aku hidup atau pun mati. Aku bangun untuk mencari dan mengejar orang yang kini, setahuku, akan kubenci seumur hidupku.

###

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang