"Mereka terus berteriak bahwa aku telah bodoh. Telah terjebak pada ketololanku sendiri karena menyuguhkan diriku untuk terjun bebas ke jurang yang tidak memiliki dasar." -H
Aku tidak mengatakannya karena keputus asaanku. Tidak juga karena rasa sedihku baru ditinggal seseorang yang terlambat kuakui bahwa aku mencintainya tidak peduli ia adalah adik tiriku.
Ku yakini diriku bahwa aku melakukannya bukan karena siasat setan untuk menjebaknya. Bukan juga karena rayuan iblis bagai merayu untuk memakan buah terlarang.
Aku meyakini diriku berulang kali bahwa aku mengatakannya bukan untuk menyakitinya dikemudian hari.
Hanya hatiku yang paling jujur yang tahu betapa seriusnya aku saat ini. Hanya bisikan terdalam yang dapat mengetahui betapa aku tidak main-main akan perkataanku.
Namun, ia hanya tertegun menatapku. Tangannya saja tidak kokoh sampai aku harus menahannya untuk menggenggam belati yang kuberikan padanya.
Puisiku telah habis kukatakan di hadapannya. Tetapi, wanita ini belum habis juga memandangku bagai tidak kenal waktu.
"Katakan sesuatu," pintaku tidak tahan lagi menunggu.
Wanita ini lantas menitihkan air mata yang membuatku kalang kabut. Aku menggeleng mencegahnya.
"Tidak. Jangan menangis," mohonku menderita. Hal terakhir yang ingin kulihat adalah kesedihannya. Dan ia memberikannya padaku. Aku menunduk menatap Bumi dengan malu memandang diriku.
Pikiran apa yang merasukiku hingga berpikir bahwa wanita yang berada di hadapanku mau menerima iblis sepertiku?
Dapat pikiran darimana bahwa salah seorang di sepenjuru dunia ini mau sekedar hidup berdampingan dengan orang sepertiku?
Jemari kecil nan dingin tiba-tiba datang menyentuh daguku membuatku tersentak. Ia mengangkat kepalaku dan meminta untuk memandang wajahnya.
Perkataannya selanjutnya mampu membuat bibirku tertarik dan meregangkan urat-urat yang telah lama kaku bahkan jika bisa berdebu.
"Aku tidak bisa berpuisi seindah milikmu, Master." Katanya lalu mengangkat belatiku. "Akan kusimpan belati ini. Menjaganya dan merawatnya bagai benda pusaka milik kerajaan." lanjutnya menyunggingkan senyum di bibirnya.
Aku tersenyum. Lalu menyadari di detik selanjutnya tentang betapa lamanya aku menunggu detik semacam ini terjadi pada hidupku.
"Jangan memanggilku Master!" Kataku tak sengaja justru nadanya bertonasi tinggi. Aku berdeham, "maksudku, kau bukan lagi budakku." Ucapku terdengar begitu kaku bahkan untuk telingaku sendiri.
Ia menggeleng, "Master terdengar baik di telingaku. Akan susah memanggilmu dengan sebutan lain karena aku belajar berminggu-minggu menyesuaikan diri memanggilmu Master pada kali pertama."
Aku menggeleng sambil berpikir betapa susahnya menghilangkan kebisaan lama.
Tanpa berkata apa-apa, aku mengamit tangannya perlahan mengajaknya berjalan. Aku berdeham lagi, "Kau tidak kedinginan? Udaranya sangat dingin. Kau harus segera masuk." Ucapku ragu.
Ku dengar suara tawanya, "Master, seharusnya kau melepas jasmu dan menyampirkannya di bahuku. Seorang pria biasa melakukan hal itu."
Aku berpikir sejenak lalu menyetujuinya. Melepas jasku dan menyampirkan di bahunya. "Kau tidak bisa memakai pakaian seperti ini jika sedang berada di luar." Omelku.
"Terima kasih," katanya sambil menatap jasku. "Aku tahu. Tapi, aku tidak berencana keluar, Master. Namun kemudian, aku melihatmu."
Aku tidak membalas apapun lagi. Aku tidak mau membahas apa yang telah terjadi.
Kami menyusuri jalan setapak dengan bergandengan tangan. Ku genggam miliknya dengan kepala yang berkelebat memikirkan hal lain.Begitu aneh rasanya karena hidupku jauh dari hal yang seperti ini. Perubahannya begitu luar biasa seperti aku harus memutar balikkan otakku ataupun menjungkir balikkan tubuhku.
Rasanya aku baru saja banting setir jika aku memiliki kereta elektronik yang menggunakan kemudi.
Jika biasanya aku membelakangi matahari, kupikir tubuhku telah berbalik menantang matahari.
"Kau harus membantuku." Perintahku. "Perubahan ini tidak mudah untukku."
Wajahnya menoleh padaku memberikan raut ketenangan, "kau perlu mengeja untuk membaca. Aku mengerti. Kita akan berjalan sebelum berlari."
Aku tidak tahu apakah ini tepat pun aku tidak mau memikirkan hal yang hanya akan menjadi masalah untuk diperdebatkan.
Sisi lain dalam diriku berteriak untuk menyakitinya. Ia seorang budak. Wanita berambut gelap yang sama seperti ibuku. Perawakan sama yang sepantasnya aku siksa ia hingga mati.
Suara lain mengatakan bahwa aku mengkhianati Emma.
Tidak!
Mereka terus berteriak bahwa aku telah bodoh. Telah terjebak pada ketololanku sendiri karena menyuguhkan diriku untuk terjun bebas ke jurang yang tidak memiliki dasar.
"Aku akan pergi ke kamarku." Izinnya sesampai kami memasuki ruang utama. Tanpa menunggu anggukkanku dan berkata apapun, ia pergi menaiki tangga yang akan mengantarkannya ke lantai dua.
Aku berdiri dengan kaku menatap punggungnya. Tidak sengaja melirik pada lukisan besar yang terpajang tepat di tengah ruangan menggambarkan beberapa mayat budak telanjang yang berpose sedemikian rupa.
Ku pejamkan kembali mataku. Mengingat siapa diriku dan mengapa dengan begitu lancangnya aku merubah jati diriku dengan memberikan belati pada budak itu dan menawarkan nyawaku segampang itu.
Aku tidak mengkhianati Emma.
Emma telah pergi dan aku tidak bisa terus-terusan menjerat diriku pada manusia yang telah memasuki alam berbeda.
Aku menghirup napas panjang. Mengepal tanganku begitu kuat. Ku ingat sekali lagi betapa bahagianya aku sesaat melihat wajah mereka yang memohon ampun, mengharapkan belas kasihanku atas kehidupan mereka....
Kemudian aku membuka mata. Hanya untuk melihat wanita yang seharusnya sudah pergi ke ruangannya kini berdiri di hadapanku. Tersenyum dengan lebar memandang wajahku begitu bahagia.
"Aku lupa mengucapkan selamat malam," ucapnya. "Selamat malam, Master. Semoga mimpi indah."
Lalu aku tidak lagi ingat apa yang semula ingin aku ubah dan nikmat apa yang telah aku tinggali.
Kakiku melangkah memasuki ruanganku. Memberikan kode pada penjaga yang menunduk hormat di depan pintu untuk masuk mengikutiku.
"Bagaimana perkembangannya?" Tanyaku menghampiri kursi tinggi beludru merah dan mendudukinya.
"Theo belum ditemukan. Sementara kelompok penjegal telah jalan menuju ke kediaman Nyonya Ayre, Tuan."
Aku mengangguk lalu menyuruhnya pergi. Namun, selaras dengan pintu terbuka, sekelebat pemikiran memasuki otakku. Seakan hal ini baru saja muncul namun aku telah tahu bahwa akan melakukannya dari sejak aku tahu kepergiannya.
"Tunggu," tahanku. "Aku memiliki tugas lain untukmu."
Kakiku berjalan ke arah jendela. Membuka gordennya yang baru untuk mencari kegelapan.
Mudah saja menemukannya. Mataku langsung dihiasi oleh rerumputan tinggi dan bayangan pohon yang menyimpan rahasia dan menyembunyikannya dariku bahkan dari dirinya sendiri.
Aku menghela napas, "cari Nyonya Ayre. Bawa dia ke hadapanku. Cari sampai dapat. Ia harus hidup dan baik-baik saja."
Lalu aku memejamkan mata. Melihat kegelapan yang sama yang menelan jiwa. Berkata kebisuan dan bergemul dengan begitu porak poranda. Menendang kemaluan lalu bersuka ria.
"Aku tidak mau ia dilukai sedikitpun." Putusku. "Begitu pula janinnya."
θθθ
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...