"Aku tak mengingat bahwa ibuku adalah wanita yang berada dalam sel itu. Bergumam dengan seramnya sambil mencakar dinding dan bergumul karena memiliki dunianya sendiri." -H
Emma, aku ingin bercerita.
Semalam akhirnya aku bisa tertidur setelah lama hanya menatap plafon gelap.
Aku bermimpi aku bertemu denganmu.
Sayangnya, pertemuan itu adalah pertemuan yang menyedihkan, menyakitkan dan yang paling terburuk dalam hidupku.
Dan kini aku bangun di pagi hari dengan kepala yang berputar-putar. Pertemuan denganmu tak membantuku sama sekali untuk melupakan ucapan seseorang yang kutemui saat aku bergumam kasar pada si wanita biadab.
Gadis yang selalu ramai dimanapun ia berada itu pastilah salah memikirkan Hamlet mati, Emma. Karena aku berjumpa dengannya kemarin.
Ia salah beranggpan bahwa Hamlet telah tiada dan sia-sia segala air mata dan rengekkan kerasnya sepanjang hari. Hamlet hidup dan aku berbicara dengannya.
"Pergi," peringatnya.
Perkataan kekasihmu saat itu mampu membuat dahiku mengernyit. Terdapat banyak memar diwajahnya dan perawakan santai telah meninggalkannya digantikan dengan kegusaran. Namun, selain itu ia nampak baik-baik saja. "Pergi dan tinggalkan rumah itu. Bawa ibumu bersamamu dan jangan kembali pada Tuan Sagrid."
Aku tak bisa lupa. Wajahnya sangat serius. Tapi, Emma. Ia mengatakan wanita biadab itu adalah ibuku.
Wanita itu bukan ibu 'kan, Emma?
Ibu pastilah sosok yang jauh berbeda darinya. Sosok yang nyata dengan senyum hangatnya. Aku tak mengingat bahwa ibuku adalah wanita yang berada dalam sel itu. Bergumam dengan seramnya sambil mencakar dinding dan bergumul karena memiliki dunianya sendiri.
Emma, katakan pada Hamlet jangan bicara omong kosong padaku.
"Kau harus pergi, Harry atau Edward, siapapun namamu itu! Aku serius." Tekannya sambil mencengkram kedua bahuku. "Pergi dari rumah itu jika kau ingin selamat."
Tidak tahu apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Rasanya semuanya berjalan sedemikian lambatnya. Dan yang dapat aku katakan hanyalah,
"Bagaimana dengan Katheline?"
Hamlet mendengus dan tampak lebih was-was dari sebelumnya. Tidak mengerti apa yang baru saja ia sadari. Namun, matanya memandang tempat lain. Ucapannya selanjutnya mampu membuat napasku berhenti seketika.
"Tinggalkan Katheline. Dia tidak akan melakukan apapun pada anaknya. Kau yang harus pergi. Bawa ibu--"
"Dia bukan ibuku!" Seruku saat itu tak terima membuat Hamlet diam.
Aku tidak benar-benar mengerti atau percaya omongannya. Anaknya, dia bilang.
Katheline anak Tuan Sagrid?"Katheline anak Tuan Sagrid?" Tanyaku menyuarakan isi benakku pada akhirnya.
Hamlet mengangguk dan berucap, "ini rahasia, bocah. Katheline sendiri pun tidak tahu hal ini."
"Apakah Tuan Sagrid--apakah dia--"
"Apakah Tuan Sagrid tahu, maksudmu?" Tanya Hamlet tepat. "Bagaimana menurutmu? Tentu saja dia tahu! Dan yang ia lakukan adalah menyuruhnya memanggil dirinya dengan sebutan majikan." Hamlet mendengus jijik. Tangannya mencengkram bahuku lebih kencang. "Ini peringatan terakhirku. Pergi dan tinggalkan rumah itu. Jangan sekali-sekali menginjakkan kakimu ditanah miliknya. Bahaya jika terus tinggal disini. Kau mengerti 'kan? Pergi demi kebaikan dirimu."
"Bagaimana denganmu?"
"Tuan Sagrid berpikir aku mati. Tetapi, aku baik sejauh ini. Dan akan pergi jauh setelah aku memperingatimu. Mungkin aku akan mencari seseorang yang telah lama hilang."
Ada denyutan pilu yang mendesak di dalam tubuhku, Emma. Aku tahu betul siapa maksudnya. Namun, aku tetap bertanya,
"Seseorang?"
"Bukan urusanmu." Jawabnya.
"Ada masalah apa memangnya? Ada apa dengan Tuan Sagrid?" Pertanyaanku membuat Hamlet kini gusar lagi.
Apa yang membuatnya sedemikian gusar?
"Tidak bisa aku katakan. Aku telah disumpah." Jawabnya membuatku bingung. Mata biru Hamlet tak sebagus biasanya. Raut wajahnya menampakkan hal yang bukan dirinya. "Dia-- Dia monster! Aku hanya bisa mengatakan sejauh itu." Sambungnya setelah seperti bergumul dengan batinnya sendiri.
"Monster apa maksud--"
"Jangan bertanya lagi!" Serunya. "Jangan mencari tahu lebih jauh. Pergi. Itu yang hanya bisa kau lakukan." Akhirnya.
Ia pergi dengan mengendap dan matanya memandang arah mana saja dengan waspada.
Aku bingung dan tidak yakin apa yang ia katakan, Emma.
Aku mendapati diriku berpikir dan memutuskan hal yang sampai saat ini belum terputuskan. Hingga datang suara pintu menjeblak terbuka dan pergantian suasana yang hening menjadi gemuruh.
"Edward, selamat pagi!" Seru Katheline dengan riang seakan tak ada apapun yang terjadi padanya kemarin. "Ayo ke padang rumput!" Ajaknya mengamit tanganku dan menariknya.
Aku bingung, Emma. Tentang apa yang harus aku lakukan saat ini dan apa yang ingin aku lakukan.
Aku berdiri dengan enggan dan mengikuti gadis itu dengan enggan. Namun, aku berdiri dan berjalan, setidaknya. Melakukannya dengan tidak sepenuhnya menolak.
Tanpa mengetahui sepenting apa peringatan Hamlet sebenarnya, dan hal apa yang berusaha disampaikan pria itu setengah mati.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historical Fiction[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...