Story - Chapter Nine

503 68 2
                                    

" Orang-orang takut padanya. Dan rasa takut sangat berbeda dengan kehormatan. " -H

Malam ini ibu sangat aneh dengan gaun tidurnya. Aku hampir takut dibuatnya. Rambutnya tak pernah semerawut itu. Tangannya juga tak pernah sekasar itu. Dan aku berusaha mengabaikan warna tangannya.

Tidak tahu apa yang ayahku lakukan empat hari sejak aku tak di rumah, namun kiranya hal yang sangat mengerikan pastilah terjadi.

Aku terus bertanya padanya namun jawaban ibu justru tambah membuatku bingung.

"Ibu hanya harus bertahan lebih keras, Harry. Lalu semuanya akan tiada." Ucapnya saat di meja makan tadi.

Sementara ayahku tak kelihatan batang hidungnya. Aku diam-diam senang walaupun ibu terlihat gundah. Ia tak ada dirumah, pasti. Pergi mengurus ini-itu yang membuat namanya semakin ditakuti banyak orang.

Pernah aku ingat disela-sela malam yang kelabu bahwa ia dengan bangga melebihi Dewa mengatakan orang-orang menghormati keluarganya, menghormati dia. Namun, yang kurasakan hanyalah ketakutan semata.

Orang-orang takut padanya. Dan rasa takut sangat berbeda dengan kehormatan.

"Ada apa denganmu?" Tanyaku lagi yang kesekian kalinya saat ibu mengantarku ketempat tidurku. "Jangan katakan bahwa ibu hanya harus bertahan lebih keras dan semua tiada. Aku tak mengerti." Sambungku memandang mata coklatnya yang suram.

"Berbaringlah, ibu akan menceritakanmu sesuatu sebelum kau tidur." Ucapnya tak menjawabku. Aku langsung menggeleng keras namun mengikuti keinginannya ketika tangannya menuntun bahuku.

"Aku tak menyukai dongeng. Ibu tahu itu. Sekarang ibu harus katakan apa yang terjadi padamu." Kataku agak keras.

"Ini suatu hal yang berbeda, Harry. Kau pasti akan menyukainya." Ucapnya dengan nada yang monoton lalu naik ketempat tidurku dan berbaring di sampingku. Persis seperti dulu.

Kali ini aku membiarkan ibu melakukan yang ia mau. Aku tak akan memaksa apapun padanya saat ayah selalu melakukan hal yang tak bisa ditanggungnya. Aku tak akan setega itu.

"Suatu hari," mulainya mengelus rambutku pelan. "Hari yang sangat kelam dan penuh kekerasan, Harry. Terdapat seorang anak yang mengaku jiwanya adalah jiwa reinkarnasi."

Rein-- apa?

Sebelum sempat bertanya, ibu melanjutkan ceritanya. Berbicara dengan nada yang begitu pelan dan lama. Seakan yang akan jatuh tertidur itu dia dan bukan aku.

"Ia berbuat semaunya dan mengatakan bahwa ia tak akan dihukum." Aku memaksakan diriku untuk berpaling dari wajah ibu yang kini penuh bilur luka. Namun, aku tak tahu mengapa mataku tak ingin melakukannya. Jadi, aku terus mandang ibuku. Mulutnya yang berucap dan nafasnya yang tersendat. Rasanya aku tak lagi mengenal wanita di hadapanku. Rasanya telah bertahun-tahun aku meninggalkannya sendiri bersama pria itu.

"Ia telah menerima hukumannya, katanya. Ia mencuri bahkan membunuh. Dan yang ia lakukan sesudahnya justru tertawa. Ada yang percaya. Mengatakan bahwa ia adalah reinkarnasi iblis karena kekejamannya. Namun, banyak yang tak percaya dan tidak membenarkan sikapnya, Harry. Mereka membawanya ke peradilan saat itu. Namun, yang mencenangkan adalah bahwa anak itu mengatakan ia mampu bercerita panjang lebar mengenai aib semua orang." Jelasnya. Aku berusaha mengikuti ceritanya. Walau ibu mengucapkannya dengan sungguh pelan, aku masih terburu-buru mengejar kepahamanku.

"Aku pernah mati, katanya, Harry. Dan ia melihat semuanya dari tempat yang tak bisa ia sebutkan dimana." Ibuku terdiam lama dan menghela napasnya pelan.

"Reinkarnasi itu apa?" Tanyaku penasaran ketika ada kesempatan.

"Reinkarnasi itu perpindahan jiwa, Harry. Kau memiliki jiwa. Dan jiwa itu akan pergi meninggalkan ragamu yang mati. Menembus waktu dan kau akan memiliki kehidupan yang lain." Jelasnya membuatku termenung. Aku baru tahu ada hal yang seperti itu.

"Apakah itu nyata?" Tanyaku. Ibuku mengangguk pelan.

"Itu nyata. Sungguh nyata." Jawabnya dengan tatapan kosongnya.

"Lalu apa yang terjadi pada anak itu?" Tanyaku penasaran.

"Seorang pria tak percaya. Dan anak itu membuktikan omongannya dengan mengatakan segala kesalahan dan kejahatan yang pernah pria itu perbuat secara jelas. Pada akhirnya, orang itu yang dipenjara setelah terbukti memang bersalah dan anak itu dibebaskan segala tuntutan karena dianggap telah membantu pemerintah." Sambungnya.

Aku mengernyit sekarang. Mana ada alur yang seperti itu?

"Anak itu menjadi terkenal keesokan harinya, Harry. Sebagai seorang anak ajaib yang telah melihat dunia dan mengintip dari surga. Banyak yang ingin tahu tentang kisahnya. Aku ada di dunia ini limapuluh tahun yang lalu, katanya. Ia terlibat dalam perang dunia dan menceritakan secara konkret dan kini orang-orang tak meragukannya. Anak kecil sepuluh tahun tidak akan berbicara seluwes itu seakan-akan ia berada disana, pikir mereka.

"Mungkin Tuhan telah memberikan kesalahan padanya, kata anak itu dengan sangat bangga. Tuhan lupa menghapus memori kehidupan lamaku, ucapnya menambah banyak kagum semua orang disana, Harry.

"Tapi, pada suatu hari ia menghilang."

"Menghilang?" Tanyaku penuh minat walau cerita ibu aneh.

"Seseorang mengatakan bahwa ia mendatangi wanita tanpa hati, Harry. Jiwanya adalah jiwa reinkarnasi. Dan ia merasa ada tugas bagi jiwa yang memiliki kehidupan yang lain. Apalagi bagi dia yang tak pernah melupakan kehidupan sebelumnya.

"Pada akhirnya, anak itu menghilang di telan bumi. Ia mencari wanita tak yang memiliki hati itu. Tamat." Ucapnya. Aku terdiam lagi sejenak.

Begitu saja? Tamat sudah selesai?

"Apalagi kelanjutannya?" Tanyaku menuntut.

"Kau tahu kelanjutannya, Harry." Katanya membuatku mengernyit.

"Aku tidak tahu." Jawabku seakan ia telah menuduhku.

"Ia pada akhirnya menemukan wanita yang menurutnya tak memiliki hati itu." Jawabnya.

"Begitukah? Ia hidup bahagia kalau begitu?" Tanyaku lagi. Aku mendengar helaan napas ibu di sampingku.

"Aku tidak tahu apakah ia bahagia di tempat ini bersamaku." Katanya agak mirip pertanyaan.

"Apa maksud ibu?" Tanyaku tak paham.

"Tidakkah kau mengerti, Harry? Anak reinkarnasi itu. Kau mengenalnya." Katanya membuatku tak ingin berpikir lebih lanjut.

Namun, aku malah bertanya;

"Siapa?" Tanyaku. Tahu akan mendapat jawaban yang sama seperti di benakku.

"Ayahmu." Jawabnya. "Dan wanita tak memiliki hati itu adalah aku, Harry."

Aku tidak mengerti apakah ibu kini sedang bercanda denganku? Aku tidak menyukai ceritanya.

Kau pasti akan menyukainya, katanya.

Seumur-umur aku tak akan pernah mau mendengar cerita semacam ini.

Kiranya mungkin ibu tak peduli. Karena ia terus berbicara mengabaikan keenggananku.

"Apakah menurutmu ia bahagia, Harry?" Tanyanya dengan nada datar yang sama.
"Aku bahagia disini bersamanya. Namun, kupikir ia tak sebahagia aku." Sambungnya membuatku berniat menutup telingaku kencang.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada ibuku, aku bilang. Ada apa dengan kondisi jiwanya? Apakah ia mulai gila karena pria itu?

"Sudah malam, Harry. Waktunya tidur. Mimpi yang indah, anakku. Selamat malam." Ucapnya mengecup keningku lalu bangkit dan menaikkan selimutku. Aku belum berusaha menutup mataku hingga ibu mematikan lampunya, keluar dari kamarku dan menutup pintu.

Mimpi yang indah, katanya.

Aku mendapati diriku tak bisa tidur hingga pagi tiba hanya karena memikirkan anak reinkarnasi iblis itu yang menikahi ibuku karena menurutnya ialah wanita yang tak memiliki hati.

Aku bahagia disini bersamanya. Namun, kupikir ia tak sebahagia aku.

Aku rasa ia telah memilih wanita yang salah. Makanya ia tak bahagia, menurutku. Aku harap ia sengsara.

###

The Past Of Harry (Prequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang