"Kemudian aku menutup mata. Berharap kesadaran akan segera muncul menggantikan ketidakwarasan yang tiba-tiba memasuki diriku tanpa mengetuk pintu, tanpa membuka sepatu, dan mengotori lantainya dengan noda yang tak kunjung hilang." -H
Pagi ini aku memiliki janji pertemuan dengan Pak Tua Slager di Pub DeBour yang letaknya tak jauh dari tempat transaksi seharusnya. Namun, saat mendorong pintu dan memasuki ruangan yang beraroma minuman alkohol ini, aku belum menemukan sejumput rambut memutihnya sekalipun.
Ia telat! Biadab memang membuatku membuang-buang waktu.
"Tuan Styles," suara penjilat DeBour terdengar. "Lama sekali Anda tidak berkunjung. Saya kira akibat yang kemarin itu, Anda tak lagi sudi untuk menginjakkan kaki berharga Anda ke tempat saya." Ucapnya dengan mata berbinar. "Tapi, baguslah jika pikiran dangkal saya ini ternyata salah. Anda ternyata sangat bermurah hati, Tuan. Manusia yang Anda katakan pada saya kemarin telah saya usir. Sudah saya buat peraturan tertulis bahwa pidana hukumnya jika mereka berani menginjakkan kaki di tempat luar biasa milik saya ini. Saya--" perkataannya terpotong ketika menyadari bahwa sedari tadi aku memandangnya dengan maksud menyuruhnya menutup mulut besarnya. Ia lantas menunduk kepalanya dalam-dalam. Seraya bergumam tak jelas memohon ampun.
Suara lonceng akibat dorongan pintu menyelamatkannya dari kemarahanku dan suara Slager menggema di pendengaran.
"Styles!" Serunya. "Sudah datang kau rupanya."
Senyumnya lebar membuat gigi putihnya terlihat. Matanya berbolak-balik memandangku dan si sialan DeBour.
Ia tertawa lalu berucap, "apa yang dia lakukan hingga membuatmu sebegini marahnya, Styles?" Tanyanya. Tangannya terangkat menyentuh bahuku yang langsung kutepis kasar.
"Kau telat!" Kataku tak suka. Ia justru tertawa. Membuatku berniat untuk melangkah pergi namun menendang tubuhnya terlebih dahulu.
"Aku tahu kau tidak terbiasa menunggu." Ucapnya cengengesan. "Tapi, hanya satumenit apakah harus semarah ini, eh? Santai saja, kau tahu?"
Ia lalu berjalan sambil mendorong bahuku untuk mengikutinya menuju meja bar.
"Yang biasa, DeBour." Ujar Slager pada pria yang masih menunduk di balik meja. "Kau mau apa, Styles?" Tanyanya padaku.
"Aku tidak bisa lama." Kataku. "Langsung saja katakan yang mau kau katakan." Cegahku ketika akan dibantah olehnya.
Slager mengangguk sambil mengedikkan bahu lantas berucap, "baik jika itu maumu." Tangannya merogoh saku jas miliknya dan mengeluarkan segulung perkamen yang dipita rapi lalu memberikannya padaku. "Pasangannya masih butuh tanda tanganmu. Berikan ini pada kurir yang menunggumu di geladak kapal pasar budak."
"Apa katamu?" Kataku tak percaya. "Kau menyuruhku untuk masuk ke dalam geladak?"
"Tenang dulu. Jika semua mauku pun aku akan lebih senang kurir itu datang kemari. Tapi, tidak. Mereka tidak mau."
"Batalkan saja kalau begitu."
"Mana bisa seenaknya bicara batal? Lagipula 'kan tinggal masuk ke dalam gladak. Apa susahnya?"
"Mengapa tidak kau saja?"
"Tidak bisa. Kurir itu membawa pasangan kertas itu. Dan pasangan itu membutuhkan tanda tanganmu, aku bilang. Bukan aku. Berarti kau yang harus kesana. Bukan aku." Ucapnya jelas menikmati hal ini.
"Sialan kau. Transaksi ini memberatkan satu pihak."
"Aku tahu. Tapi, bukankah kau yang juga mendapat keuntungan terbanyak?" Baliknya terasa menang. "Lebih baik tidak usah banyak mengeluh. Kurir itu mungkin sudah menunggumu sedari tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Of Harry (Prequel)
Historische Romane[Prequel from THE PAST] [It means you have read 'THE PAST' first] Check my works. Britania Raya, 1835. Para pembaca, saya hanya bisa menyampaikan; Ketika masa lalu menjadi pokok pembicaraan, sungguh, sejujurnya sebab-akibat akan menjadi momok nyata...